Tag Archives: kebudayaan

Senggama

Senggama itu boleh, tapi sebaiknya lakukan bersama muhrim-mu. Senggama boleh tapi aneh jika merekam-rekamnya. Merekam mungkin tak mengapa, tapi salah jika beredar-edar.

Senggama boleh tapi tak baik ditonton orang. Terekam, mungkin lagi sial, tapi lebih sial jika tertonton. Terlarang pula menyebarkannya. Kini senggama itu bukan hal privat lagi.

Dahulu engkau mesti mempersiapkan banyak hal ketika hendak melakukannya; tempat yang baik, waktu yang tepat, momentum yang romantis, persetujuan yang teguh, dan penyelesain yang paripurna. Tak boleh ada kecewa terselip di antara keduanya, setelahnya.

Kini senggama itu jadi hiburan, atau untuk menghibur.

Padahal Tuhan, untuk urusan senggama ini, menunggu Adam dirundung sepi dahulu, kemudian Dia bertindak. Bagi Adam, dibuatkannya seorang Hawa, perempuan untuk menghapus sepinya, untuk disenggama agar keturunannya banyak.

Bukan main urusan senggama itu? Bukankah senggama ini urusan yang luar biasa penting, sehingga Tuhan harus mencipta dua jenis kelamin berbeda; agar bisa bertemu. Itulah mengapa senggama itu sakral.

Di berbagai peradaban dunia, senggama ini demikian sakral dan kultus. Pada kebudayaan India, senggama itu menjelma sebuah kitab khusus; Kamasutra. Banyak prosesi, banyak pantangan, banyak rutinitas, sebelum engkau melangkah pada senggama.

Di kebudayaan Mesir, engkau harus direndam pada rempah, agar harum. Biar Amum Ra tidak kecewa, konon. Tubuhmu akan berbungkus sutra, peraduanmu akan ditebari mawar dan diberi gaharu. Konon, pula, pada Lingga dan Yoni, disepuh segala haruman berlapis-lapis aromanya. Biar Amum Ra tidak kecewa, konon.

Di kebudayaan Eropa, urusan senggama itu berbelit sengkarut urusannya. Lelaki harus melalui 90 hari kenal, satu tahun tunang, sebulan pingit. Di sepanjang waktu itu, si perempuan dipersiapkan dengan serius. Maka itu, prosesi nikahnya berlangsung cepat. Keluarga mengawasi sedemikian ketat. Selalu ada pengawal si perempuan ketika berduaan dengan tunangannya, sekali pun. Sayang sekali, saat senggama mereka masih merasa harus; polos telanjang.

Di kebudayaan Arab-Islam, senggama sedemikian kultus, sehingga jika abai dan lalai, kau bisa kena rajam, akibatnya. Perempuan tak boleh jalan sendiri tanpa muhrim. Memandang dengan seronok akan membangun prasangka di kalangan keluarga perempuan, dan perempuan itu sendiri. Ketika bertemu pun, lelaki hanya cukup melihat melalui barzah, melalui tabir. Prosesnya panjang berjenjang. Setelah semuanya kau lewati, masih tersisa satu pantang; engkau berdua harus berpenutup saat senggama. Tak boleh telanjang polos.

Cukup hanya pada bagian yang akan bertemu; penyenggama dan tersenggama, yang terbuka. Sebab, jika polos, engkau berdua akan lebih mirip binatang. Rasakan sensasinya, tapi jangan pula mempermalukan malaikat. Malaikat akan malu, menutup mata, jika ada sepasang muhrim bersenggama tak berpenutup. Mereka akan membalikkan badan sampai engkau berdua, usai.

Bahkan sebelum senggama, engkau, kalian berdua, harus berdoa dulu; agar senggama itu tak dicampuri setan dan iblis, agar senggama itu berbuah anak sholeh, patuh pada Rabb Ul-llah. Setelah selesai, berdoalah pula, sebaiknya. Dan, engkau sekalian harus mandi pada akhirnya. Junub akan mengakhiri prosesi senggama ini. Ibadahmu akan percuma jika engkau tak menutupnya dengan junub.

Tetapi, sekarang, lihatlah senggama itu.

Orang orang mempermainkannya semaunya. Menjadi boleh dengan siapa saja, dilakukan dengan cara apa saja, di mana saja. Kadang pula diabadikan; buat di tonton sendiri, atau beramai-ramai kawan dan sahabat. Masih tak puas, diedar dengan sengaja, sehingga orang sedunia melihat perbuatanmu.

Segala mitos kau buat, sebagai alasan. Ukuran, bentuk, dan kepiawaian “menjungkir-balikkan” perempuan, engkau banggakan. Karena ketidakpuasanmu, hewan pun kau bunuh. Apa salah Buaya, engkau kejar tangkurnya? Apa dosa Badak, engkau gergaji culanya? Ada apa dengan kambing? Setelah melahapnya, jadi alasanmu mengunjungi lokalisasi. Ular kau betot tubuhnya, hingga darahnya muncrat lalu lahap kau teguk. Macan kau kejar-kejar hanya karena kuku dan tulangnya. Bahkan bakau pun kau balak untuk bisa melingkarkan akar baharnya di lenganmu.

Perbuatan yang bodoh, sungguh!

Apa hewan-hewan itu pernah berperjanjian padamu perihal tubuh mereka? Apa mereka berutang seutas tangkur, sebuah cula, sekilo daging, seliter darah, sepotong kuku dan tulang, dan sebatang akar, padamu? Tidak, tentunya. Lalu mengapa angkau bunuh mereka? Tingkahmu mirip rentenir, membunuh penghutang yang tak membayar puluhan tahun.

Setelah engkau anggap diri hebat pada urusan senggama, tak cukup perempuan bagimu, lelaki pun kau senggama. Kau bilang; tak mengapa Lingga itu berlumuran tinja. Hih…najis!

Padahal engkau cuman mengejar; sensasi dan erotisme. Tidak cuman lelaki, perempuan pun, kini, sama saja.

Tahukah engkau, bahwa senggama itu, dihakikatkan pada urusan keturunan saja.

Lalu, orang-orang berteori dan berspekulasi tentang cara dan upaya. Bahkan ada sekolahnya untuk kau pelajari dengan juluk seksologis.

Senggama itu, kini, pun dipelototi kanak-kanak. Urusan perempuan buka paha, buka dada menjadi gampang. Yang dahulu kau harus datang dalam rombongan memintanya dengan cara yang baik dan diberitahukan pada umum dengan cara yang baik pula.

Lembaga nikah tidak sekuat dan keramat lagi. Dahulu memeriksa orang zina itu cepat dan berujung hukum yang keras, kini terbalik. Dahulu perempuan akan sangat marah jika dipelototi dengan pandangan seronok, lalu baru akan marah besar jika pantatnya kau tepuk, lalu baru akan murka jika dadanya kau senggol, dan engkau akhirnya dilaporkan sebagai peleceh.

Kini, kadang perempuan baru marah besar, murka hatinya, jika tak kau peluk, tak kau raba-raba, tak kau berikan sensasi dan erotisme yang dia minta.

Perempaun saat ini, umumnya, tak ada malu tersisa lagi pada hati dan fikirnya. Walau pada tubuhnya tinggal melekat kutang dan cawat saja. Batasan rogol menjadi makin tinggi.

Seharusnya internet itu, material bergambar senggama itu, diawasi tidak saja Kementerian dan polisi, tetapi orangtua juga. Terlalu besar lembaga Kementerian (Depag dan Kemenkominfo) itu jika urusannya hanya haji, penyuluhan, pendidikan dan latihan. Seharusnya mereka duduk pula di kursi pengawas (bukan pengatur) sebagai polisi content. Jika kau tak bisa awasi content maka tak perlu sok ribut soal material senggama yang teredar.

China saja yang kau tuduh komunis dan ateis itu, mampu mengawasi content hingga material senggama tak edar bebas. Tiap tahun ribuan orang dibui di sana karena coba-coba. Jika kau bukan ateis mengapa tak mencoba lebih baik dari orang yang kau sangka ateis. ***

Catatan ringan Ilham Q. Moehiddin (Juni 2010)

 

*Maaf, catatan ini aku tulis seusai “nge-dumel” pada media, pada lembaga terkait, dan para penyuka senggama. Kebodohan itu laksana tongkat; semakin panjang semakin rapuh. Tongkat serupa itu baiknya segera dipatahkan.

Kata “Muhrim” biasa dilafalkan lidah orang Indonesia untuk “Mahrom”. Secara gramatikal penggunaan yang benar adalah ‘Mahrom’ yang merujuk hubungan keluarga/sedarah. Sedangkan ‘Muhrim’ merujuk pada pemakai kain ihram saat berhaji. Info ini dimungkinkan atas revisi, saudaraku Syaiful Alim.