Oleh Ilham Q. Moehiddin
Artikel ini hendak memotret secara kritis bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah daerah Bombana yang ikut diamini pemerintah pusat, secara sistematis mendorong regresi tatanan lingkungan, tatanan kemasyarakatan dan adat-budaya orang Moronene. Berikut.
***
Negeri padi akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk ketiga kalinya. Pemilihan umum (pemilu) daerah kali ini, sungguh, nuansanya berbeda sama sekali. Tidak seperti pada pemilihan lima tahun sebelumnya, tahun 2005, pemilu tahun 2010 ini dipastikan akan tergelar dengan penuh persaingan. Sejumlah kandidat calon, sudah mulai ambil ancang-ancang.
Beragam upaya mereka lakukan dalam tahap ini. Mulai dari berupaya menggaet simpati masyarakat Information Technology (IT) lewat jejaring sosial Facebook, sampai field campaign dengan metode yang terlalu lazim, memenuhi area publik dengan baliho pencitraan. Jargon-jargon ditebar dimana-mana. Idiom “bekerja untuk rakyat”, “demi rakyat sejahtera” membual dihampir semua medium pencitraan tersebut.
Emas, Kebijakan Politik, dan Sejumlah Kasus
Tapi bukan ini yang membuat nuansa pemilu daerah kali ini berbeda. Sejak ditemukannya emas di kawasan Tahi Ite, Bombana sejak 2007 silam, daerah ini langsung tampak ‘molek’ bagi para petualang politik. Siapa yang tak kepincut memerintah di wilayah yang dipuji dunia, karena memiliki emas terbaik kedua di dunia setelah Balarat, di Australia. Bahkan, pujian teramat tinggi datang dari Bursa Emas Dunia di Hongkong. Perdagangan emas dunia tiba-tiba bergelora begitu logam mulia Bombana itu memasuki pasar. Hal yang sama bahkan tidak terjadi ketika emas ditemukan dan mulai ditambang Freeport di wilayah Papua, atau Newmont di NTB. Kandungan emasnya yang mencapai tingkat kemurnian 99,08 persen-lah, yang ternyata membuat emas Bombana begitu diminati, bahkan diburu.
Puluhan investor gurem pun mencoba peruntungan mereka ketika pemda setempat mulai membuka pintu bagi pengelolaan cadangan emas di wilayah itu. Hasil uji deposit mineral yang dilakukan oleh para peneliti geology pun melansir cadangan sejumlah 250.000 ton. Itu sama dengan 250 juta kilogram emas dapat dihasilkan dari areal-areal konsesi di sana. Konon, tim peneliti itu masih menyimpan rekomendasi bahwa ukuran yang mereka laporkan belum semuanya.
Jika perdagangan emas lokal mematok harga 450 ribu/gram (harga ketika artikel ini ditulis, pen.), maka dari jumlah deposit tersebut akan dihasilkan Rp 112,5 Bilion (014). Nah, perdagangan emas dunia yang rata-rata menempatkan harga emas dikisaran US$800/troyons, dengan kurs yang ada sekarang, dan estimasi yang fluktiatif, maka akan ada triliunan dolar yang diraup negara dari sektor ini. Kendati hasil tersebut masih tergantung dengan kadar logam mulia, permintaan emas dunia, perang mata uang, termasuk sentimen pasar global, akan tetapi perolehan akhirnya pun tak berselisih jauh.
Katakanlah, pemerintah pusat hanya kebagian 25% dari nilai tersebut, sebagai kompensasi dari berbagai program subsidi silang dan pemberlakukan aturan pembagian keuangan pusat dan daerah, dalam beleid UU pasal 22 dan pasal 25, maka seharusnya, Kabupaten Bombana sudah pantas dimasukkan dalam daftar salah satu kabupaten terkaya di Indonesia. Lantas, siapa yang tak tergiur untuk mengepalai wilayah ini?
Pun, tambang emas potensial adalah soal lain. Wilayah ini pun masih menyimpan banyak persoalan yang timbul karena pola pemerintahan yang serampangan, dan korup. Inilah yang membangun suasana kontradiktif di wilayah itu. Perolehan keuntungan dari tambang emas, ternyata berbanding terbalik dengan kondisi riil kabupaten tersebut. Jangan harap melihat jalan mulus membentang dari perbatasan kabupaten Konawe Selatan sampai Kabupaten Kolaka yang melalui wilayah itu. Atau, tak perlu mimpi mendapati sejumlah infrastruktur penting, macam listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan dan telekomunikasi yang tertata dan terorganisir baik. Anda pasti kecewa.
Bandingkanlah sejumlah variabel tadi, pertanyaan Anda kemudian pastilah berkisar disini; kemana semua uang yang seharusnya digunakan untuk membangun wilayah ini?
Sejumlah proyek infrastruktur seperti kantor Bupati, pelabuhan utama, bahkan lampu jalan menuai kasus. Tidak sedikit pejabat pemerintah harus meringkuk di penjara karena terbukti korupsi. Kepala daerah yang lemah, dan penerapan aturan yang tebang pilih, mendorong intensitas korupsi, baik yang dilakukan oleh pejabat negara, swasta, bahkan keluarga kepala daerah. Parahnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, sama sekali “kurang tertarik” menangani isu korupsi di kabupaten ini. Para pelaku, sebagian besar, masih berkeliaran dengan bebas.
Kabupaten Sejuta Masalah
Pemilu daerah kali ini pun punya arti yang cukup luas untuk mengukur sampai dimana peran pemerintah dan juga masyarakatnya dalam mengawal kabupaten yang masih muda itu.
Kenyataan yang ada; model pemerintahan yang silang sengkarut dan dibungkus dugaan korupsi di hampir semua sektor; fungsi legislasi yang tidak jalan; fungsi kontrol masyarakat yang mati sama sekali; serta amburadulnya sistem kependudukan, ternyata membangun friksi yang tajam dan samar di kalangan masyarakat luas.
Friksi ini tergambar jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Peluang dan kesempatan menjadi rebutan di antara masyarakat, sebagai pelaku ekonomi dan sosial setempat, dengan ribuan orang yang tiba-tiba berdatangan karena magnet emas Bombana. Pemerintah yang berkuasa terlalu bersikap profit oriented, hingga melupakan fungsi sosialnya. Investor dipuji dan disanjung bak dewa. Uang menjadi nilai tawar paling utama, dan mengesampingkan berbagai hal penting, semisal kerusakan lingkungan, kerusakan moral, degradasi mental, fundamen adat-budaya dan agama koyak-moyak, kriminalitas merajelela, trias politika ambruk sama sekali. Fakta empirik ini boleh saja disangkal sebagai upaya eufemistik, tetapi sangat sulit memalingkan muka dari penampakan akan hal-hal tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat setempat bahkan terbelah-belah dalam mensikapi masalah lingkungan hidup, misalnya. Ada yang mendukung dengan alasan, bahwa pengelolaan yang sedang berlangsung hanya bersifat sementara dan tidak berdampak sistematis terhadap kehidupan kemasyarakatan, termasuk lingkungan alam. Namun pula, tidak sedikit masyarakat yang kian pesimis dengan pengelolaan pemerintahan yang timpang itu. Kelompok masyarakat yang disebut terakhir ini, sama sekali tidak melihat niat baik dibalik semua kebijakan yang dijalankan.
Kebijakan-kebijakan yang ada pun tidak lebih hanya hiasan, dan sama sekali tidak akomodatif terhadap keinginan masyarakat, yang sesungguhnya memiliki hak lebih. Bahkan, kebobrokan dalam menterjemahkan kebijakan pro rakyat setempat di wilayah itu kini menyusup dan memasuki area birokrasi di wilayah induk, Provinsi Sulawesi Tenggara. Gubernur Nur Alam terlihat resah dengan pola pengelolaan pemerintahan setempat. Sayangnya, sampai kini, orang nomor satu di Tenggara pulau Sulawesi ini belum berniat melakukan over polecy, dan tak tampak sebagai representasi pemerintah pusat.
Dua Sasaran Besar
Lalu, apa koneksi langsung dari silang sengkarut masalah di kabupaten itu dengan Pilkada yang akan segera dihelat tak lama lagi? Sesungguhnya, apa yang sedang terjadi dan terekam di atas, hanyalah “sasaran antara” saja. Sasaran sebenarnya dapat tercium dari sejumlah indikasi, khususnya kian getolnya sejumlah anggota parlemen pusat asal Buton mendorong usul mantan wakil presiden, Jusuf Kalla, soal posisi kabupaten setelah 10 tahun berdiri.
Seperti yang telah diketahui, Jusuf Kalla memang pernah mengusulkan peninjauan kembali kebijakan pemerintah tentang pembentukan kabupaten dan provinsi baru. Usul itu didorong ke DPR melalui kementrian dalam negeri. Kebijakan baru tersebut akan menentukan nasib kabupaten/kota yang selama 10 tahun sejak disahkannya, tidak memperlihatkan pembangunan yang signifikan; jika 10 tahun sebuah kabupaten/kota tidak menampakkan kemajuan, atau malah makin mundur pembangunannya, maka kabupaten/kota tersebut akan dilebur kembali ke wilayah asalnya. Isi usulan itu kurang lebih demikian.
Dengan potret kabupaten Bombana yang terlihat sekarang, jika kemudian beleid baru ini diberlakukan, maka akan memaksa kabupaten ini kembali dilebur ke kabupaten Buton, yang tadinya adalah wilayah asalnya. Ini, seolah-olah menjemput impian sejumlah pemprakarsa provinsi Buton Raya, bahwa dengan bergabungnya Bombana akan mempercepat pembentukan provinsi baru tersebut. Tapi, harapan itu rupanya masih jauh bagi mereka. Alasannya, kita lihat nanti, di bagian lain dalam artikel ini.
Sasaran utama lainnya, adalah makin menguatnya indikasi perusakan lingkungan dengan rencana akan dibukanya selebar mungkin pintu investasi di sektor tambang di beberapa wilayah potensial Bombana.
Kabupaten Bombana yang memiliki luas wilayah daratan 2.845,36 km² atau 284.536 ha, dengan wilayah perairan laut lebih dari 11.837,31 km². Luasan total itu sudah termasuk pulau Kabaena. Bombana ternyata menyimpan potensi tambang yang luar biasa, selain emas, didapati pula deposit nikel, tembaga, perak, timah, dan beberapa mineral lainnya. Sayangnya, selain emas, deposit-deposit bahan galian itu sesungguhnya “belum masak”, atau belum siap untuk ditambang.
Tidak ada angka pasti mengenai sejumlah deposit yang disebutkan terakhir tadi. Yang jelas beberapa investor telah melakukan eksplorasi di beberapa areal, termasuk pulau Kabaena. Di pulau ini saja, tidak tanggung-tanggung, ada 25 perusahaan pertambangan yang siap, dan telah, mengerogoti jengkal demi jengkal tanah masyarakat, mengais nikel didalamnya. Anehnya, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki fasilitas pemisah biji nikel sekalipun. Ratusan ton tanah yang mereka keruk—yang katanya mengandung biji nikel—diangkut dengan kapal-kapal sewaan berbendera asing menuju Taiwan. Disanalah, tanah-tanah berbiji nikel itu diolah.
Buat apa pemerintah daerah menginjinkan investor yang menjalankan operasi pertambangan berbiaya tinggi seperti itu? Apa tujuannya mengapalkan tanah-tanah yang diambil dari Bumi Indonesia (Bumi Adat Orang Indonesia)? Tidakkah kita harus belajar dari kasus pertambahan luas Singapura dan makin menyempitnya Selata Malaka karena praktek Tambang Pasir Ilegal (penjualan pasir dari Indonesia yang digunakan untuk menimbun bibir pantai Singapura hingga luasan garis pantai negara itu bertambah). Jika hanya sekadar mengejar profitnya belaka, jalan memaksa investor untuk melakukan pengolahan di dalam negeri pun bisa dijalankan. Indonesia masih memiliki BUMN sekelas PT. Antam yang sudah mampu mengolah tambang apa saja dengan tehnologi yang mereka punyai. Walaupun, tidak ada jaminan jika dikelola Antam tidak menimbulkan dampak sama sekali, tetapi yang jelas, tambang-tambang Indonesia tidak dalam bingkai “dikuasai asing”.
Selain jelas tidak ekonomis, yang paling merana karena dampaknya adalah masyarakat setempat. Areal kebun-kebun masyarakat yang tadinya ditumbuhi tanaman pertanian, dilego sepihak kepada investor, dibongkar, lalu dikapalkan, menyisakan areal bekas galian yang besar menganga. Protes masyarakat dilawan dengan kekuatan represif. Polisi yang disewa investor menghadang, lalu menangkap. Tindak pemenjaraan terhadap masyarakat pun pernah terjadi.
Investasi asing berbiaya tinggi, yang tak ekonomis itu, ikut mengurangi luasan pulau. Malah, areal pertanian rumput laut masyarakat kini terkontaminasi lumpur kerukan, dan mengakibatkan kerugian finansial ratusan juta rupiah, dan perusahaan menolak mengganti kerugian itu.
Padahal Pulau Kabaena ini hanya memiliki luasan tersisa 867,69 km2, atau kurang lebih 86.769 ha. Kurang dari 60 persen dari luasan itu adalah wilayah hutan konservasi yang merupakan cadangan air utama bagi masyarakat setempat.
Menurut estimasi, rata-rata perusahaan yang mengelola nikel di pulau ini memiliki 2.000 ha lahan konsesi, maka akan ada 50.000 ha lahan yang akan rusak atau berubah fungsi dari areal konservasi menjadi areal pertambangan. Ini sama artinya dengan menyisakan ruang 36.769 ha bagi kurang lebih 35.000 jiwa penduduk Pulau Kabaena. Sedikitnya areal yang tersisa, dan dengan jumlah penduduk yang demikian itu, akan mengantarkan pulau dan masyarakat beserta adat-budaya yang tersimpan didalamnya kepada kehancuran permanen di semua sektor kehidupan.
Ironisnya, yang menempatkan dan membawa potensi kehancuran tersebut justru datang dari luar lingkaran struktur masyarakat adat-budaya Moronene, yakni para pendatang yang berkedok kebijakan pemerintah dan investor berkebangsaan asing.
Ternyata pula, dibalik penyelenggaraan semua ijin-ijin pertambangan itu, pemerintah daerah hanya mengejar pajak, dan pungutan liar dari pengelola tambang. Ini diperparah, dengan tidak jelas dikemanakan semua pajak dari hasil pertambangan tersebut. Tidak ada program pengembangan masyarakat (populer disebut Community Development). Selentingan mengalir, bahwa dana-dana pungli tersebut mampir di kantong Bupati, keluarga bupati, anggota DPR daerah Bombana, dan anggota DPRD Provinsi Sultra, yang kerap “sidak” sembunyi-sembunyi.
Model kelola seperti ini tentu tidak “ramah”. Tidak ramah bagi alam, dan tidak ramah bagi lingkungan hidup sosial masyarakat. Tindakan tidak ramah itu, juga makin memperuncing friksi sosial yang sudah ada. Apa pemerintah daerah (dan pemerintah pusat) harus menunggu friksi sosial ini berujung pada pergolakan untuk selanjutnya diselesaikan? Apakah tidak sebaiknya, pemerintah pusat menghentikan semua ijin kelola tambang yang tidak “sehat” di Bombana itu, memeriksa semua pihak yang terlibat (pemberi ijin dan penerima ijin), lalu kemudian jika menenuhi syarat operasi sesuai konstitusi lingkungan, bolehlah beroperasi lagi?
Mudahnya Mengukur Kepentingan Para Calon Bupati
Kedua sasaran utama di atas membayangi Pilkada Bombana kali ini. Tidak ada komitmen yang paripurna tentang bagaimana nasib Bombana setelah Pilkada. Sejumlah individu yang akan menjadi bakal calon bupati, setidaknya datang dari latar belakang yang tidak meyakinkan untuk dapat membangun komitmen yang dapat menghilangkan kekhawatiran masyarakat Bombana terhadap indikasi sasaran utama tadi.
Tengok saja mereka; ada yang dari legislatif provinsi mantan pengusaha tambang; ada yang sedang duduk sebagai legislator daerah; penyeleweng dana masjid; ketua parpol yang incumbent; bahkan pejabat bupati lama yang terindikasi korup. Pria dan wanita ini, ternyata tidak pandai, dan tidak memiliki kerangka misi yang jelas soal bagaimana bombana nantinya di bawah kepemimpinan mereka. Seolah-olah, telah tertangkap jelas, Bombana di dalam kerangka rencana mereka hanya berputar pada uang dan kekuasaan.
Parahnya, tidak ada satu pun upaya dari mereka untuk menjelaskan apa misi mereka ketika menjalankan manajemen pemerintahan kelak, walaupun sekadar untuk mematahkan sejumlah perkiraan yang sudah terlanjur beredar di masyarakat tentang siapa mereka dan apa kepentingan sesungguhnya dalam pencalonan pimpinan daerah Bombana 2010-2015.
Para calon yang sedang berebut simpati dengan sibuk membangun citra itu, terlalu mudah diukur. Apa tujuan mereka sebenarnya dibalik pencalonan itu? Bagaimana rencana pembangunan mereka? Yang biasanya hanya berputar pada isu-isu biasa dan tidak populis. Kapan mereka mematok hasil pencapaian dari rencana yang mereka jalankan? Bagaimana membangun sinergi di antara komponen utama penyelenggara pemerintah daerah? Konsep-konsep yang mereka usung telah usang, tak ada yang baru di bawah langit Bombana. Pemerintahan model begini adalah ciri khas pemerintahan yang gampang dibeli.
Di sisi lain, mereka cukup dengan berpura-pura tuli terhadap penolakan tegas masyarakat untuk tidak bergabung dengan Buton Raya; bahwa bergabung dengan Buton Raya bukan solusi mensejahterakan rakyat Bombana; bahwa bergabung dengan calon provinsi baru itu hanya akan mengulang kisah lama—penindasan struktural dalam bingkai kultur yang kaku dan egois; bahwa keinginan “mengajak” Bombana bukan didasari oleh cita-cita kesejahteraan bersama, tetapi lebih pada sekadar melengkapi prasyarat tercukupinya jumlah daerah tingkat dua dalam dokumen usulan provinsi baru.
Tidak terlampau sulit mengukur bagaimana suatu regresi yang diakibatkan proses politik daerah dan sebuah kebijakan di sektor pertambangan dengan segera membangun sejumlah indikator utama yang mengarahkan kita pada pra-kesimpulan bahwa masyarakat Bombana, khususnya masyarakat adat-budaya Tokotua di Kabaena, sedang berhadap-hadapan dengan kekuatan investasi yang sama sekali tidak pro-lingkungan lestari dan pro-adat budaya. Sedang berhadapan dengan keinginan pencaplokan geografis, geoekologis, dan geokultural, dengan dalih kesejahteraan dalam sebuah provinsi baru.
Tidakkah membangun Bombana tetap dapat dilakukan tanpa pungli, tanpa korupsi, tanpa merusak lingkungan alam, lingkungan hidup sosial, dan adat-budaya?
Tidakkah calon provinsi baru Buton Raya tetap akan terbentuk dan berjalan tanpa keikutsertaan Bombana didalamnya?
Rakyat Bombana tidak ingin kerusakan berlanjut. Rakyat Bombana tidak ingin bergabung dengan Buton Raya. Demikian. ***
“…Bagi mereka yang kehilangan haknya, kami ingat. Bagi mereka yang terus menceritakannya, kami mendengarkan. Bagi mereka yang masih memperjuangkannya, kami bersamanya. Bagi generasi berikutnya, jangan pernah lupa.”