Tag Archives: Laksamana Cornelis Speelman

[Esai] Hikayat Sayembara Menulis di Indonesia

Hikayat Sayembara Menulis di Indonesia

Hikayat Sayembara Menulis di Indonesia2 ANDA pasti ingat beberapa lomba kepenulisan yang digagas oleh Majalah Story? Salah satunya Lomba Menulis Cerdak Majalah Story yang diadakan beberapa kali sepanjang 2013. Juga ada Lomba Menulis Cerpen Ultah Story 2011. Bahkan majalah ini pernah membuat Lomba Puisi Cinta pada tahun 2010.

Sebenarnya, sejak kapan lomba atau sayembara kepenulisan itu diadakan pertama kali? Ini dia pertanyaan besarnya. Catatan perjalanan sejarah sastra Indonesia itu sangat kurang sehingga agak rumit mengetahui persisnya kapan.

Semua bentuk lomba atau sayembara kepenulisan itu maksudnya memang untuk mengasah bakat kepenulisan dalam bentuk kompetisi yang selektif (menggunakan panel juri). Terbukti, setiap kompetisi macam ini ternyata mampu memunculkan banyak bakat penulis muda yang siap di medan sastra murni bahkan sastra-pop.

Perlumbaan (maksudnya: perlombaan) Karang-mengarang pertama kali hadir di zaman Hindia Belanda sejak akhir abad ke-19. Berbagai sayembara kepenulisan di zaman itu memang dipicu keinginan Belanda memajukan bidang penerbitan di Hindia.

Awal penerbitan di Hindia-Belanda dimulai saat datangnya sebuah mesin cetak dari Belanda pada tahun 1624. Ketiadaan ahli cetak untuk menjalankan mesin menyebabkan mesin itu mangkrak begitu saja. Pada tahun 1659, Cornelis Pijl memrakarsai produksi Tijtboek (semacam almanak). Selepas itu, mesin cetak kembali tak beroperasi. Percetakan itu kembali bekerja saat mencetak dokumen resmi Perjanjian Bongaya antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, 15 Maret 1668. Sejak itulah, Verenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai rutin mencetak berbagai kontrak dan dokumen perjanjian dagang, hingga kemudian buku-buku sastra terjemahan.

Pemerintah kolonial lewat Commissie Voor de VoLfrcslectuur (CVVL) membuat Literaire Schrijfwedstrijd Nederlands-Indie pertama kali pada tahun 1879 dalam format karya saduran. Lomba itu menghasilkan dua pemenang: novel Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar sebagai pemenang pertama, dan Pengibur Hati karya J. Paimin sebagai pemenang kedua. Saat hendak dicetak, diketahui bahwa nama J. Paimin adalah nama samaran Merari Siregar sendiri.

Tetapi, karangan kecil yang berjudul Penghibur Hati itu menurut A. Teeuw, dikarang oleh J. Paimin dari Slakas, Tasikmalaya. Pada sampul buku tersebut tertulis “Soewatoe karangan yang beroleh hadijah dan diploma dalam perloembaan karangan dan hal madat”.

Karena judul dua karangan itu mempunyai tujuan yang sama, maka keduanya disatukan menjadi sebuah buku. Dalam saduran itu Merari Siregar menciptakan lingkungan cerita yang baik sehingga tanpa membaca cerita aslinya kita seolah-olah membaca sebuah cerita baru. Daerah-daerah seperti Prinsenlaan di Taman Sari dan Glodok serta suasana Betawi tahun 20-an dilukiskan sehingga menimbulkan kerawanan di hati pembacanya. CVVL terus mengadakan lomba sejenis sampai tahun 1918.

Setelah CVVL berganti nama menjadi Balai Poestaka, lembaga itu dipercayai memegang peran dalam penerbitan novel sastra dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah, seperti sastra Jawa dan Sunda. Balai Poestaka membentuk jaringan perpustakaan rakyat dan sekolah, serta toko buku yang tertata, sehingga membantu penyebaran buku-buku terbitannya. Bangkitnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka harus aktif mencari naskah-naskah baru agar buku terbitannya kian banyak.

Itulah yang mendorong lembaga itu kembali membuat sayembara mengarang pada tahun 1937 dengan tajuk Perlumbaan Mengarang Novel yang disertakan dalam Pedoman Pembaca 1937. Belakangan, pedoman tersebut ternyata menjadi bahan penting untuk mengetahui apa sebenarnya pandangan penerbit pemerintah itu terhadap kesusastraan.

Hikayat Sayembara Menulis di Indonesia3

Balai Pustaka masih rutin melaksanakan sayembara, sampai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga menggelar sayembara pertamanya pada 1974. Awalnya juga DKJ memberlakukan syarat-syarat umum untuk semua pengarang Indonesia yang ikut serta dengan tema karangan bebas, ditulis dalam bahasa Indonesia, diketik dua spasi setebal 100 halaman, belum pernah diumumkan dalam majalah atau surat kabar, dan dirangkap tiga.

Saat itu ada 64 naskah yang masuk tetapi hanya 59 yang layak administrasi. Juri pertama mereka adalah Umar Kayam, Boen S. Oemarjati, Sapardi Djoko Damono, S. Effendi, dan Mh. Rustandi Kartakusuma. Uniknya, sayembara menulis pertama DKJ itu tidak menghasilkan seorang pemenang pun. Tiga tempat juara, kosong melompong. Namun juri tetap memilih lima pemenang penghargaan dengan masing-masing memperoleh hadiah Rp 75.000.

Novel-novel yang dicatat dalam sejarah persayembaraan penulisan DKJ pertama kali itu adalah, Astiti Rahayu karya Iskasiah Sumarto dari Yogyakarta, Dari Hari Ke Hari karya Mahbub Djunaidi dari Jakarta, Arus karya Aspar Paturusi dari Ujung Pandang, Sisa-sisa Hari Kemarin karya Suparto Brata dari Surabaya, dan Qisas karya C.M. Nas dari Jakarta. (IQM)

(JENDELA, Majalah Story, Edisi 50 / Th. V / Desember 2013)