Tag Archives: Mokole

[Cerpen] Robohnya Bukit Kami | Jawa Pos | Minggu, 24 April 2016

Robohnya Bukit Kami

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Robohnya Bukit Kami | Ilustrasi: Bagus

SURAD berlari menembus belukar hutan yang rapat. Napasnya hampir habis, tapi suara gemuruh dari hutan bagian Selatan menghantuinya. Hutan di sisi Barat ini jalan terpendek satu-satunya menuju tobu (kampung) Olondoro. Hujan telah menggemburkan tanah, membuat goyah bukit Lere’Ea yang mengelilingi desa di mulut tanjung itu.

Tapi, harus ada yang memeringati orang-orang—harus ada.

 

Sebelum Robohnya Bukit Kami

Surad merasa harus melakukannya, kendati Ama (bapak) Karabu mendaratkan tempeleng ke pelipisnya selepas solat Jumat’an pekan lalu. Orang tua itu menganggap Surad lancang berbicara di depan jamaah, memprovokasi orang-orang agar berhenti mencungkili bebatuan dan mengambil pasir dari kelokan timur sungai La’Kambula, berhenti membalak pepohonan di Lere’Ea.

“Hanya Lere’Ea yang membentengi desa ini dari angin kering dari Selatan. Hanya bukit itu juga yang menjaga kampung Bajau di perairan Tanjung Lawota dari gelombang Selat Sulawesi. Dua tobu (kampung) ini akan…”

—Plak!

Kata-kata Surad terhenti, lehernya memutar ke kanan. Ama Karabu tegak di depannya dengan wajah kelabu, penuh amarah. Surad memegangi pelipisnya yang panas—darah melelehi hidungnya, jatuh menetesi lantai masjid.

Sebagian orang ikut-ikutan mengutuk Surad. Tetapi sebagian yang lain justru memprotes tindakan Ama Karabu, memukul orang dalam masjid. Ama Karabu sebenarnya bisa saja mengadukan Surad kepada Bonto (hakim adat), atau menghajar pemuda itu di luar masjid. Jika sudah lancung begitu, Doja Rasyid-lah yang akhirnya repot—harus membersihkan tetesan darah dari lantai masjid.

Ama Karabu tak peduli. Menurutnya, Surad tak boleh mencampuri urusannya dengan menghasut orang-orang. Tapi tekad Surad sudah bulat untuk terus memeringati orang-orang.

Surad menceritakan kecemasannya pada Pak Akla, Puu’tobu (kepala kampung) Bajau. Saat sedang mengamati burung-burung yang seharusnya sudah bermigrasi dari Tenggara, Surad tak sengaja melihat rengkahan tanah yang memanjang dari sisi timur ke bagian barat bukit di tanjung. Rengkahan itu selebar lima jari tangan orang dewasa.

Itu patahan tanah—Lere’Ea itu adalah bukit yang ditopang karang di bawahnya. Dinding karang itu juga pembatas pesisir Tanjung Lawota dari perairan di sisi utara pulau Kabaena. Jika memandang ke bawah—dari atas Lere’Ea, sejauh 600 meter dari tebing karang—tampak kampung Bajau membentang di atas air dalam formasi diagonal.

Surad meringis. “Tinggal dinding karang itu saja yang menahan bukit kita.”

Pak Akla menoleh ke pesisir, memandangi ujung Tanjung Lawota. Matanya menggeriap. Ia mengerti betapa besar kecemasan Surad. Bukit Lere’Ea itu menunjang Tanjung Lawota di mana orang-orang Bajau mengumpulkan hasil laut di pesisirnya.

Orang-orang membalak di bukit itu dimulai tujuh bulan lalu, mengambil kayu-kayu dari bukit untuk membendung sungai sebelum mengeruk pasir di dasarnya. Orang-orang itu suruhan Ama Karabu. Mereka menyisakan sedikit sekali pohon kecil yang tetap tak mengubah wajah kering bukit itu.

“Celahnya besar sekali ya—” gumam Pak Akla sembari mendorong sepiring pisang rebus ke depan Surad. “Bagaimana menurut Pak Madjid? Sudah kau ajak beliau melihatnya?”

“Sudah saya beritahu, tapi—” Surad menggeleng, “—beliau belum merespon.”

Pak Akla memenuhi dadanya dengan udara laut yang kering. Dari beranda belakang palemma (rumah apung) miliknya, ia leluasa memandang ke arah bukit Lere’Ea. Di perairan Tanjung Lawota ini, keluarganya turun-temurun menetap sebagai suku laut. Moyangnya mendirikan kampung ini atas seizin para Mokole (raja) Kabaena yang menguasai seluruh area itu hingga pulau Selayar. Saat kakek buyutnya mengepalai kampung ini, di tahun 1871 antropolog Johannes Elbert dan ilustrator Grundler, datang dan menulis tentang mereka. Kedua orang Jerman itu memperkenalkan mereka pada dunia lewat foto-foto. Grundler memotret kampungnya dengan kamera obscura dari film lempengan tembaga berlapis perak.

**

“Sesungguhnya, tak ada yang berubah dari bukit itu bagi kami—juga hutan utama Malate dan hamparan bakau di pesisir Lawota ini. Kondisinya Lere’Ea tiba-tiba berubah drastis sejak orang-orang menggali pasir di sungai La’Kambula. Bukit itu telah memberikan segalanya bagi kehidupan kami. Kami tetap jelas mengingatnya setelah delapan generasi. Dari sudut itulah—” Pak Akla menunjuk area terbuka di pesisir Barat, “—Grundler memotret kampung ini. Bukit itu, dan laut di depannya, adalah Puu’Wonua (Ibu Bumi) bagi kami.”

Surad terpekur. Kepalanya ikut menoleh dan matanya kembali mendapati Lere’Ea yang meranggas. Lalu tubuhnya memutar setengah dan lengannya terangkat. “Dari ujung sana, lalu melingkar hingga sampai ke pohon itu—” Surad menunjuk pohon Melinjo besar di bagian timur tanjung, “—patahannya jelas sekali. Dinding karang itu tak akan kuat menahan beban tanah yang terus bergerak.”

Pak Akla masygul. “Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”

Surad tak langsung menjawab pertanyaan itu. Matanya memandang sekeliling perkampungan. Dahulu, Pak Akla pernah mengajaknya melihat bagaimana orang Bajau mengenalkan laut pertama kali pada bayi-bayi mereka. Setelah sembilu memutuskan ari-ari setiap bayi Bajau, dalam gendongan bapaknya, bayi akan dibawa masuk ke air laut yang hangat. Saat bayi dilepaskan perlahan-lahan, saat itulah bayi diperkenalkan pada Ibu Laut—rahim pertama suku laut—bahkan sebelum bayi disapih ibu kandungnya. Bayi justru mengapung seolah-olah perenang yang ahli dan mereka tak sedikit pun menelan air laut. Bayi menyelam kesana-kemari dalam pengawasan bapaknya. Prosesi seperti itu tak lama—cuma sekitar dua menit, dan bagi Surad itu adalah dua menit yang sangat menakjubkan.

Surad menoleh. “Kita akan sibuk sekali, Ama. Tidak mudah menginapkan orang-orang laut ke daratan.”

Pak Akla mengangguk, menyeret dua keranjang bambu di atas lumpur bakau yang sadah. Perahu mereka ditambat di batas air pasang. Rajungan terbirit-birit masuk lubang saat melihat kedatangan mereka. Ikan-ikan belacak juga menyingkir, berlari di atas lumpur dan hinggap-berpeluk pada ujung akar-napas Bakau yang menyembul dari dalam lumpur. Sudah sesore ini keranjang bambu Pak Akla belum berisi seekor rajungan pun.

“Rajungan besar makin sukar dicari—” Pak Akla menunjuk beberapa Rajungan kecil yang mengawasi dari jarak aman, “—kecil dan hijau seperti itu tak bisa dimakan. Tak akan laku pula jika dijual.”

Surad membanting keranjang bambunya. Ia merasa benar-benar tak berdaya. Ia kemudian menaikkan keranjang-keranjang bambunya ke atas perahu Pak Akla sebelum naik dan duduk di haluan. Mereka mengayuh perahu menuju hutan Bakau di sisi pesisir Selatan.

 

Di Hari Robohnya Bukit Kami

Seruan pertama Pak Akla langsung menetak liang telinga Surad dan pemuda itu terbangun dalam perahu. Matanya menggeriap. Tiang penyangga petromaks bergoyang, membuat pantulan cahaya kuning dari lampu itu menjalar seperti ular api di atas permukaan air. Malam ini langit cerah berbulan, pun bersih tanpa awan. Bintang Utara terlihat terang sekali.

Sejak sore hingga menjelang dini hari ini, Surad kelelahan menemani Pak Akla mencari rajungan. Rasanya ia belum lama merebahkan tubuh dan teriakan keras Pak Akla sudah membuatnya tersentak bangun.

“Bersiaplah!” Teriak Pak Akla seraya bergerak membelah air menuju perahu. Dua keranjang bambu yang diikat menyatu tampak penuh rajungan. Hewan-hewan bercapit itu menggeliat saling bertindihan. “Bangunlah!” Ulang Pak Akla menaiki perahunya.

Surad melilitkan sarung ke lehernya. “Ada apa, Ama?”

“Tidurmu seperti ular, sampai-sampai tak kau dengar suara gemuruh dari tanjung.”

“Apa?—” Surad kaget setengah mati, “—jangan main-main, Ama!”

“Ambil dayungmu! Kita ke kampung laut sekarang juga!”

Surad meninggikan leher dan berusaha menangkap sesuatu dalam kegelapan jauh di tanjung sana. Kerlip lampu dari deretan palemma tampak menari-nari di kampung Bajau. Darahnya berdesir. Surad mengangkat dayungnya. Tanpa buang waktu mereka mengayuh perahu ramping itu secepat mungkin. Pak Akla sigap mengendalikan perahu dengan dayung pada dinding kayu buritan. Belum dua menit, peluh sudah membasahi punggung Surad.

“Aku sangat mencemaskan kampung.” Pak Akla berusaha bicara di tengah derau air yang berkecipak oleh kayuhan dayung mereka. Perahu kecil itu kian laju.

Mata Surad menyipit, berusaha melihat dalam terpaan silau cahaya petromaks. “Aku juga harus ke tobu Olondoro—aku harus memeringatkan orang-orang.”

Delapan menit berikutnya, mereka akhirnya sampai di kampung Bajau. Gelombang laut begitu hebat mengayun perahu dan rumah-rumah warga. Orang-orang sudah keluar rumah, membuat penerangan dengan menyalakan obor dan menempatkannya pada tiang pancang di depan palemma masing-masing. Beberapa lelaki bergegas menghampiri saat perahu Pak Akla merapat di tangga palemma miliknya.

“Setelah gemuruh, gelombang datang tiga menit setelahnya. Lere’Ea roboh malam ini, Ama—” mata Sadae berkaca-kaca saat bicara pada ayahnya.

Pak Akla menatap Surad, lalu beralih pada Sadae. “Lepaskan perahu-perahu besar! Bawa semua warga ke daratan, menjauhlah ke pesisir Timur sekarang juga! Mungkin saja akan ada longsoran susulan.”

Sadae melompat dan berteriak-teriak. Kawan-kawannya ikut membantu melepaskan tambatan perahu-perahu besar. Sisanya, mengatur warga keluar dari rumah menuju perahu.

Pak Akla menyodorkan dayungnya pada Surad. Mata orang tua itu seperti bicara bahwa Surad harus bergegas. Saat melihat Sadae, Pak Akla sadar bahwa belum ada seorang pun yang menyampaikan kabar itu ke kampung Surad.

“Pakai perahuku—” ujar orang tua itu, “—bergegaslah!”

Surad mengangguk. Ia membungkukkan tubuh, berpegangan di tiang palemma dan segera turun ke perahu. Ia palingkan wajah ke utara. Malam yang diterangi cahaya bulan menyergap matanya. Ia harus mengayuh perahu kecil itu ke mulut tanjung. Itu berbahaya sekali, sebab perahu kecilnya harus memintas gelombang yang disebabkan longsoran pertama. Dari sana ia harus memintas hutan menuju tobu Olondoro.

Harus ada yang memeringati orang-orang—harus ada.

Setelah mengayuh perahu, memintas sisa gelombang di mulut tanjung, pemuda itu berhasil mencapai pesisir utara. Ia mendongak ke arah Lere’Ea dan dalam keremangan cahaya bulan, ia bisa melihat kengerian yang mencemasinya selama ini.

Lere’Ea benar-benar patah. Tanah bukit itu tampak rengkah di dua sisinya dan turun beberapa meter. Runtuhan pertama telah mematahkan bagian atas dinding karang yang menopang bukit itu, mengirim ratusan ribu kubik tanah, sisa-sisa pohon kecil dan bebatuan besar tumpah ke perairan Lawota. Longsoran mengaduk air laut dan mengirimkan gelombangnya ke kampung Bajau. Bagian terbesar tanah di bukit itu tampak menggantung, menunggu waktu untuk longsor berikutnya ke arah tobu Olondoro sekaligus mengirimkan gelombang kedua ke kampung Bajau.

Surad berlari menembus belukar hutan yang rapat. Napasnya hampir habis. Tapi suara gemuruh pertama dari Lere’Ea menghantuinya. Berlari—ia harus berlari sekencang mungkin. Di benaknya kini terbayang wajah warga kampung, wajah ibunya.

Ia tak boleh terlambat, jika tak ingin kampung itu lenyap dalam timbunan tanah. Surad lari bertelanjang kaki menembus lebatnya hutan. Di ujung kampung, cahaya kecil dari lelampu tampak dari beranda rumah milik Ama Naja. Sedikit jarak lagi ia akan sampai. Semua bagian kakinya perih bukan main. Darah mengucur pelan dari sobekan luka oleh duri semak. Telapak kakinya mulai membengkak akibat luka tusukan bebatuan padas.

Sedikit lagi, Surad. sedikit jarak lagi— Surad itu membatin.

“Turunlah dari rumah!” Surad berteriak saat ia memasuki tobu. Ia harus membuat kegaduhan agar orang-orang terbangun. Ia memunguti kerikil, lalu melempari setiap rumah yang berada dalam jarak lemparannya. Upayanya berhasil. Orang-orang yang rumahnya ia lempari, keluar dan ikut berteriak, bertanya maksud Surad membangunkan mereka seperti itu.

“Bangunkan orang-orang lainnya. Pergi kalian dari sini. Lere’Ea roboh! Bukit kita roboh!” Surad kesetanan. Semua orang harus diselamatkan—harus!

Ama Karabu berlari menyongsong pemuda itu. “Panggil puu’tobu!” telunjuk Ama Karabu menuding muka Surad, “—dia ini sudah membuat keributan!”

Beberapa pemuda meringkus Surad, memegangi tangan dan lehernya.

Surad tak peduli. “Pergilah! Mengungsilah!—bukit kita akan roboh lagi!”

Pak Madjid tiba-tiba muncul dari luar kerumunan di sekitar Surad. “Siapa yang bikin keributan?” Tanyanya.

“Dia ini—anak Ina Ijja.” Tukas Ama Karabu.

Pak Madjid mendelik pada Ama Karabu. Orang-orang bicara lagi sembari menoleh pada Indara.

“Diam—” teriak Pak Madjid, “—apa maksudmu? Jelaskan padaku!”

“Aku dan warga kampung Bajau melihat sisian Lere’Ea roboh ke laut. Warga kampung Bajau sudah mengungsi ke pesisir setelah rumah mereka dihantam gelombang pertama. Masih ada rengkahan besar menggantung di sisi bukit dan mengarah ke tobu kita.” Surad menarik napas. “Aku harus menjemput ibuku—dan kalian juga harus pergi dari sini.”

**

Orang-orang bekerja bahu-membahu menyingkirkan timbunan tanah. Surad melihat Sakka berdiri mematung di atas talud. Anak lelaki itu melihat ke bawah, mengamati orang-orang yang bekerja menyingkirkan tanah dari lokasi di mana rumahnya pernah berdiri.

Dua jam berikutnya, orang-orang menemukan jasad Ama Karabu tertimbun tanah di antara balok kayu yang sengaja ditumpuk di halaman rumahnya. Ama Karabu hendak menyelubungi tumpukan kayu itu dengan terpal plastik, tapi longsoran tanah Lere’Ea keburu datang. (*)

Molenvliet, Maret 2016


Separuh Jalan Menuju Matahari

Menyaksikan festival budaya-tradisi suku tertua di Sulawesi Tenggara. Kedatuan ini memiliki banyak sejarah dan kisah unik yang terus terpelihara.

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Plaza Tangkeno di hari pembukaan festival -- photo@IQM

Plaza Tangkeno di hari pembukaan festival — photo@IQM

Tubuh berbungkus jaket parasut tebal saat kami bersua pagi di desa Rahadopi. Waktu menunjuk pukul 07:10. Darman, bangun lebih dulu dan berjongkok di sisi perapian tanah. Ia kedinginan. Pemilik rumah menyuguhi kopi plus sepiring kue. Kami sengaja datang untuk Festival Tangkeno 2015; sebuah festival budaya-tradisi dari suku tertua di Sulawesi Tenggara. Festival ini dirangkai Sail Indonesia 2015 yang melayari rute Sail Sagori 2015.

Dari desa Rahadopi, di ketinggian 680 mdpl, atol Sagori tampak di sisi barat, berjarak 2,5 nautikal mil dari pantai Kabaena, melengkung sabit bulan berwarna putih dengan laguna biru pekat di tengahnya. Air surut, laut teduh sekali di awal September ini. Karang Sagori, atol terbesar ketiga di Indonesia dan keempat di dunia.

Saya teringat sejarah kelam di atol Sagori ini. Pada paruh abad ke-17, dunia pelayaran dikejutkan suatu malapetaka—Ternatan Fleet: Bergen op Zoom (jenis jacht, berbobot 300 GT), Luijpaert (jacht, 320 GT), Aechtekercke (jacht, 100 GT), dan De Joffer (fluyt, 480 GT), dikomandoi Tijger (retourschip, 1000 GT) karam sekaligus di karang ini pada tanggal 4 Maret 1650. Armada VOC ini sedang melayari rute Batavia-Ternate melalui Selat Kabaena. 581 orang awak kapal, serdadu dan saudagar dapat menyelamatkan diri.

Tijger itu jenis mothership space kelas utama, kapal terbesar yang pernah dibangun VOC pada 1640-41. Kapal kebanggaan VOC ini mengakhiri riwayat pelayarannya di karang Sagori. Duapuluh pucuk meriam, tujuh cartouw (meriam kecil) plus amunisi, diangkut prajurit Mokole (raja) XVII Kabaena dan diletakkan di lima benteng kedatuan. Salinan mikrofilem catatan itu disimpan Breede Raadt, di National Archives of the Netherlands, di bawah Fonds-Code: 1.04.02, Item No.1179A/B, Sec.296-340.

Matahari beranjak naik. Menurut informasi, festival akan dibuka pukul 10 pagi (2 September 2015). Kami harus bergegas ke plaza Tangkeno. Motor sewaan kami harus menanjak 5 Km hingga di ketinggian 800 mdpl, di pinggang gunung Sabampolulu. Jalan beraspal dan sedikit pengerasan sebagai bagian dari proyek lingkar pulau Kabaena.

Cukup mudah mencapai Kabaena. Dari kota Kendari dan kota Baubau, Kabaena dicapai melalui darat sebelum menumpang jet-foil atau pelra. Sedangkan dari Bulukumba (Sulawesi Selatan) menggunakan ferry via Tanjung Bira. Pun mudah dicapai menggunakan yatch (kapal layar tiang tinggi) atau kapal pesiar yang berlabuh di perairan bagian selatan. Jika kelak resmi sebagai kabupaten, sebuah bandara akan dibangun di utara pulau.

Kurang dari 25 menit, kami tiba di desa Tangkeno. Kemarau panjang tahun ini mengubah wajah Tangkeno yang hijau menjadi kemerahan dan kering. Angin menerbangkan debu tanah merah ke mana-mana. Suhu naik 34-35ºC di siang hari, dan secara ekstrem turun hingga 15ºC menjelang sore hingga malam. Kondisi kontras justru tampak di dua desa sebelumnya, Tirongkotua dan Rahadopi yang dibalut hijau hutan sub-tropis serta tajuk-tajuk pohon Cengkih.

Di ketinggian Tangkeno, rata-rata kecepatan angin 2 knot, dan uniknya, mampu menghalau rasa panas di kulit. Kami tak berkeringat saat berada di plaza Tangkeno, di tengah siraman cahaya matahari siang hari. Percayalah, berjalan di plaza Tangkeno di musim kemarau, laksana menapaki separuh jalan menuju matahari.

Kabaena—dan 11 pulau besar-kecil yang mengepungnya—bersiap menjadi kabupaten baru, memisah dari kabupaten Bombana. Jarak administrasi, luas wilayah dan kecemasan akibat laju deforestasi karena operasi pertambangan menjadi sebab utama. Kenyataan itu membuat warga lokal kecewa dan pihak Kedatuan Kabaena marah besar.

“Ada kerapatan adat sebelum penyambutan,” Darman berbisik. Baiklah, itu tak ada di run-down acara. Darman menyiapkan kamera dan peralatan rekam. Saya berinteraksi dengan beberapa tokoh adat di sisi Baruga Utama. Petugas penyambut berpakaian adat dan para pementas gelisah karena udara panas, sebagian sibuk merapikan kostum yang disergap angin.

Mokole mengundang peserta Sail Indonesia2015 ke Baruga Utama -- photo@IQM

Mokole mengundang peserta Sail Indonesia2015 ke Baruga Utama — photo@IQM

Darman berlari ke arah Baruga Utama saat orang-orang bergerak ke arah yang sama untuk menyimak sambutan dari Mokole Kedatuan Kabaena. Di akhir sambutan Mokole, kerapatan adat dimulai dan dihadiri para Bonto (pemangku adat), Mokole Kedatuan Keuwia dan kerabat Kedatuan Lembopari. Kerapatan adat menyetujui acara itu, sekaligus mengundang Bupati Bombana, para peserta Sail Indonesia 2015, dan utusan dari sejumlah kerajaan tetangga (Bone, Wuna, dan Tolaki) ke Baruga Utama. Kedatuan Lembopari juga mengirim utusan sebab sedang memersiapkan Mohombuni (penobatan) Mokole baru.

Lembopari, Keuwia, dan Kabaena, adalah tiga protektorat Kedatuan Bombana lampau. Kedatuan suku Moronene ini dipecah kepada tiga pewaris di masa pemerintahan Nungkulangi (Mokole ke-III Bombana). Dendaengi, Mokole ke-I Bombana, adalah adik Sawerigading, tokoh poros dalam epos La Galigo. Menurut etnolog Dinah Bergink (Belanda), dan Tengku Solichin (Johor), eksistensi suku Moronene dimulai sekitar abad ke-5 dan ke-6 Sebelum Masehi, namun jejak suku bangsa proto Melayu ini ditemukan melalui hubungan monarkisme dengan Kedatuan Luwu (Sulawesi Selatan) dan moyang mereka di Yunan Selatan, Tiongkok.

Demi festival ini, Darman rela mengulur waktu penelitian gelar masternya. Bujukan saya ampuh membuatnya meninggalkan lokasi riset. Tahun lalu ia kecewa karena festival dibatalkan saat sungai Lakambula membanjiri empat desa di poros utama ke lokasi festival.

Di sisi selatan plaza Tangkeno yang luas itu, tampak 10 perempuan bersiap. Di genggaman lima penarinya ada parang nan tajam. Ke-10 perempuan ini akan menarikan Lumense, tarian tradisi perempuan Kabaena. Lima perempuan berparang tajam itu bergerak cepat saling mengitari dengan penari lainnya. Rampak gerak dalam formasi yang kerap berubah cepat sanggup membuat merinding. Menjelang akhir tarian mereka menebas sebatang pohon pisang sebagai simbol kekuatan dan pengorbanan. Intensitas gerakan Lumense sedikit menurun saat parang disarungkan dan 10 penari melakukan Lulo asli. Lulo asli Kabaena punya 21 varian tarian dengan ritme tabuhan gendang yang berbeda. Tetapi, sejarah tari Lumense memang mengerikan.

Tari Lumense dibawakan gadis Kabaena dalam pakaian adat Taa'combo dan Enu -- photo@IQM

Tari Lumense dibawakan gadis Kabaena dalam pakaian adat Taa’combo dan Enu — photo@IQM

Menurut Mokole ke-XXIX Kabaena, Muhammad Ilfan Nurdin, SH. M.Hum., Lumense tumbuh dan berkembang sesuai peradaban. Di zaman pra-Islam, Lumense sakral dan hanya ditarikan para yo’bisa (orang yang paham alam gaib dan berilmu kanuragan). Yo’bisa secara spontan menari (vovolia) saat mendengar gendang Lumense ditabuh. Di pulau ini, miano da’Vovalia berumur panjang. Ina Wendaha, Maestro Lumense, mencapai usia 114 tahun.

Lumense adalah penebus diri para pelanggar adat (me’oli). Pelanggaran berdampak pada ketidak-imbangan kosmos, alam, manusia dan menyebabkan bencana. Nah, ini yang menyeramkan!—maka Lumense menjadi media ritual persembahan. Para Bonto menggelar Lumense yang diakhiri pemenggalan (penebasan) leher subyek persembahan, yakni seorang gadis/jejaka. Di era Islam, subyek tarian diganti ternak, hingga Kyai Haji Daud bin Haji Abdullah Al-Kabaeny menggantinya dengan pohon pisang.

Suara musik mengalihkan pandangan semua orang. Kabaena Campo Tangkeno dinyanyikan tujuh biduan dengan iringan alat musik perkusi tradisional, Ore’Ore. Ketujuh penyanyi memegang alat musik bambu monotonik pelengkap irama Ore’Ore. Berikutnya, orkestra musik bambu mengalun di depan Baruga Utama, oleh 30 siswa SDN 1 Tirongkotua yang dipandu konduktor. Itu menarik perhatian para tamu asing. Mereka meminta orkestra itu diulang dua kali.

Agnes menyempatkan diri menjajal nada Ore’Ore. Patrick dan istrinya menyapa para siswa orkestra musik bambu dan membagikan flute pada mereka. Wajah semua orang puas sekali. Gerah mencapai plaza Tangkeno dalam perjalanan ini, terbayar dengan apa yang kami saksikan.

Pukul 12 siang, para pemangku adat mengajak tamu ke bawah Laica Ngkoa (rumah adat) Kabaena. Kami dijamu kuliner tradisional. Suguhan ikan bakar dan kacang merah bersantan membuat Darman tergila-gila—ia tambah dua kali.

Usai jamuan makan, pembukaan festival dilanjutkan tari Lulo-Alu yang eksotik dan ditutup drama-tari kolosal tentang kisah Ratu Indaulu. Mengisahkan fragmen pelayaran Ratu Indaulu dari Tanah Besar menuju Kabaena, menempati Goa Batuburi, hingga istana kerajaan selesai didirikan di Tangkeno. Sendratari berlangsung 12 menit.

Peserta Sail Indonesia 2015 memadati Fort Tuntuntari dan Fort Tawulagi—dua dari lima benteng pertahanan Kabaena—pada sore hari. Dua benteng ini berdiri kokoh menjaga kota raja. Di pagi hari, mereka mengunjungi permukiman, pasar tradisional, dan berbagai obyek wisata; pantai Lanere, pantai Wulu, Air Terjun Ulungkura, Air Terjun Manuru, permandian Tondopano, padang pengembalaan Kuda, kampung laut Suku Bajau, wisata bahari selat Damalawa, konservasi Mangrove Pising, eco-farm, Air Panas Lamonggi, sentra kerajinan batu mulia, snorkling dan diving di kuburan kapal karang Sagori, caving di Goa Batuburi, dan lainnya. Pengelola menjajaki bike-tracking, paralayang dan arung jeram.

Tracking di gunung Sabampolulu (1700 mdpl) dan climbing di gunung Watu Sangia (1200 mdpl) sangat digemari para tamu festival. Gunung Watu Sangia ini pernah dijajal Norman Edwin (alm), enam bulan sebelum pendakiannya di Aconcagua, Argentina.

Pementasan seni malam hari paling ditunggu. Warga dan sekolah se-pulau Kabaena berpartisipasi dalam berbagai lomba selama festival; tari tradisi, permainan, hingga sastra lisan Tumburi’Ou (hikayat/dongeng). Festival tahun depan akan menambah cabang sastra lisan; Kada (epos) dan Mo’ohohi (syair). Itu tiga dari lima sastra lisan Kabaena, selain Ka’Olivi (nasihat/amanah) dan Mo’odulele (syair perkabaran).

Kabaena memang kaya tradisi yang terpelihara. Kedatuan Kabaena lampau punya banyak sejarah dan kisah unik. Selatnya digunakan sebagai rute penting pelayaran rempah Nusantara, hingga dua ekspedisi besar pernah memetakan potensinya; Ekspedisi Sunda, 1911 dan Ekspedisi Celebes, 1929. Ekspedisi yang disebut terakhir itu, dipimpin Prof. H.A. Brouwer dan berhasil memerkenalkan batuan mulia (carnelian) Kabaena ke Eropa. Carnelian serta rekaman petrologi pulau ini dipresentasikan oleh C.G. Egeler di Bandung tahun 1946, dan kini tersimpan rapi di Geological Institute, University of Amsterdam.

Peradaban Kabaena punya sistem penanggalan unik yang disebut Bilangari. Almanak bermatriks lunar dengan 9 varian ini masih digunakan sehari-hari, khususnya menentukan permulaan musim tanam, pelayaran, pernikahan, pendirian rumah, upacara adat, bahkan konon, menghitung waktu kelahiran dan kematian seseorang.

Pulau “kecil” ini juga berkontribusi pada sastra Indonesia. Khrisna Pabicara, novelis Sepatu Dahlan, adalah satu dari beberapa penulis Indonesia yang menghabiskan masa kecil hingga SMA di sini. Bambang Sukmawijaya, cerpenis Anita, juga dari pulau ini. Generasi Kabaena sungguh dibesarkan dalam tradisi sastra yang baik.

Kami tak lagi menunggu penutupan festival, sebab Darman harus kembali ke lokasi risetnya dan saya yang ditunggu banyak tugas. Kabaena, selalu saja memancarkan magisme tradisi yang berkelindan dalam eksotisme alamnya. Suatu keindahan puitik yang memanggil-manggil. (*)

Akses menuju Pulau Kabaena

Akses menuju Pulau Kabaena

Tips:

  • Waktu kunjungan paling baik ke Kabaena antara bulan Mei-Agustus (musim panen/Po’kotua), dan bulan September-Desember (festival tradisi-budaya).

  • Pada bulan-bulan ini laut begitu teduh.

  • Sebaiknya melalui jalur Kendari-Kasipute (via darat + 3 jam) dengan jalan darat yang mulus, dan Kasipute-Kabaena (via laut). Gunakan jet-foil untuk menghemat waktu tempuh (2 jam). Jet-foil beroperasi hanya pada hari Selasa dan Sabtu, berangkat pagi 08:00 dan siang 12:00 WITA. Dari Kabaena-Kasipute, jet-foil melayani pada hari yang sama. Jika kebetulan Anda sedang berada di kota Baubau, ada jet-foil yang melayani jalur ini (Baubau-Kabaena-Kasipute) pada Senin dan Jumat.

  • Jika bingung, mintalah bantuan warga setempat. Setiap orang akan membantu Anda. Jika Anda lebih suka menggunakan jasa ojek, tarifnya murah dan bisa diatur. Penyewaan kendaraan juga ada. Tarif guide tidak dipatok.

  • Anda tak (belum) bisa menemukan hotel/motel/penginapan. Tetapi setiap rumah warga bisa Anda jadikan home-stay. Mereka bahkan tak meminta apapun dari Anda.

  • Untuk hicking, selalu gunakan guide warga lokal, untuk menghindari beberapa wilayah larangan (tak boleh dimasuki). Untuk rock-climbing, sebaiknya persiapkan alat Anda dengan baik. Tingkat kesulitan dan kemiringan tebing batu di Gunung Watu Sangia beragam. Formasi batuannya berupa kars muda.

 

Catatan:

Artikel ini dimuat Koran Tempo Minggu, edisi 27 September 2015.

 

Foto-foto lain:

Undangan makan di bawah rumah adat -- photo@IQM

Undangan makan di bawah rumah adat — photo@IQM

Kerapatan Adat Kedatuan Kabaena -- photo@IQM

Kerapatan Adat Kedatuan Kabaena — photo@IQM

Mokole mengundang peserta Sail Indonesia2015 ke Baruga Utama -- photo@IQM

Mokole mengundang peserta Sail Indonesia2015 ke Baruga Utama — photo@IQM

Peserta Sail Indonesia 2015 dijamu kuliner adat -- photo@IQM

Peserta Sail Indonesia 2015 dijamu kuliner adat — photo@IQM

Penari Lumense -- photo@IQM

Penari Lumense — photo@IQM

Gadis-gadis Kabaena dalam pakaian adat Taa'Combo & Enu -- photo@IQM

Gadis-gadis Kabaena dalam pakaian adat Taa’Combo & Enu — photo@IQM

Orkestra Musik Tradisional Kabaena (Musik Tiup Bambu) -- photos@IQM

Orkestra Musik Tradisional Kabaena (Musik Tiup Bambu) — photos@IQM

Orkestra Musik Bambu - 03 --@IQM Orkestra Musik Bambu - 02 --@IQM

Peserta Sail Indonesia 2015 berinteraksi dengan siswa pemusik bambu dan membagikan flute -- photos@IQM

Peserta Sail Indonesia 2015 berinteraksi dengan siswa pemusik bambu dan membagikan flute — photos@IQM

Patrick dan Istri berinteraksi dengan siswa Musik Bambu - 01 --@IQM Patrick dan Istri berinteraksi dengan siswa Musik Bambu - 03b --@IQM

Persembahan Ore'Ore (Musik Tradisional Kabaena) -- photo@IQM

Persembahan Ore’Ore (Musik Tradisional Kabaena) — photo@IQM

Salah seorang peserta Sail Indonesia 2015 menjajal nada Ore'Ore  -- photo@IQM

Salah seorang peserta Sail Indonesia 2015 menjajal nada Ore’Ore — photo@IQM

Tari Lulo Alu - 03 --@IQM Tari Lulo Alu - 02 --@IQM Tari Lulo Alu - 02b --@IQM

Persembahan Tari Lulo Alu (Tokotua-Kabaena Traditional Heritage Dance) - -- photo@IQM

Persembahan Tari Lulo Alu (Tokotua-Kabaena Traditional Heritage Dance) – — photo@IQM

Persembahan Sendratari Kolosal tentang Pendaratan Ratu Indaulu --photos@IQM

Persembahan Sendratari Kolosal tentang Pendaratan Ratu Indaulu –photos@IQM

Sendratari Kolosal Ratu Indaulu - 03 --@IQM Sendratari Kolosal Ratu Indaulu - 02 --@IQM Sendratari Kolosal Ratu Indaulu - 01 --@IQM

Partisipasi (olahraga dan seni) para siswa dari berbagai sekolah se-pulau Kabaena dalam Festival Tangkeno 2015 - --photos@IQM

Partisipasi (olahraga dan seni) para siswa dari berbagai sekolah se-pulau Kabaena dalam Festival Tangkeno 2015 – –photos@IQM

Partisipasi siswa dalam Festival Tangkeno 2014 - 01  --@IQM Partisipasi siswa dalam Festival Tangkeno 2014 - 03  --@IQM

Tangkeno Fest 2015

Tangkeno Fest 2015

Festival Tangkeno 2015

Pesisir Selatan Pulau Kabaena Tampak Dari Puncak Gunung Watu Sangia -- photo@Dody

Pesisir Selatan Pulau Kabaena Tampak Dari Puncak Gunung Watu Sangia — photo@Dody

Dataran Tinggi Gunung Sabampolulu -- photo@BahasaKabaena

Dataran Tinggi Gunung Sabampolulu — photo@BahasaKabaena

Plaza Tangkeno -- photo@Ist.

Plaza Tangkeno — photo@Ist.

Padang Pengembalaan Kuda -- photo@Dody

Padang Pengembalaan Kuda — photo@Dody

Olompu (Rumah Kebun) Orang Tokotua-Kabaena --photo@Dody

Olompu (Rumah Kebun) Orang Tokotua-Kabaena –photo@Dody

Goa Watuburi --photo@Hary

Goa Watuburi –photo@Hary

Air Terjun Ulungkura -01 -- @Ist

Air Terjun Ulungkura --photos@Ist

Air Terjun Ulungkura –photos@Ist

Panorama dari atas Gunung Watu Sangia --photo@Dody

Panorama dari atas Gunung Watu Sangia –photo@Dody

Atol Sagori - 01 -- @Ist Atol Sagori - 02 -- @Ist

Atol Karang Sagori --photos@Dody

Atol Karang Sagori –photos@Dody

 


[Cerpen] Kuda-Kuda Terakhir | Femina | No.04/XLII ~ 25–31 Januari 2014

Kuda-Kuda Terakhir

Oleh: Ilham Q. Moehiddin

Ilust_Kuda-Kuda Terakhir_Femina

LEMBAH-lembah dan padang ilalang di punggung bukit Saba Mpolulu kian sepi dari derap kaki kuda yang berlarian bebas. Sejak kuda-kuda ditangkapi secara liar untuk diperdagangkan, tidak ada lagi gemuruh saat kawanan hewan cantik itu berlari menembus cahaya matahari. Surai kuda-kuda yang direbahkan angin, leher yang berkilat saat mereka berpacu membelah ilalang di padang miring ini lenyap.

Gadis itu tidak pernah memimpikan buruknya situasi ini. Satu per satu kuda lenyap dari padang yang telah mereka huni ratusan tahun. Hewan-hewan menawan itu seakan pergi dari tempat-tempat yang sering ia datangi. Hanya angin yang berkelana saat tubuh gadis itu tegak di atas bebatuan di kaki bukit. Angin yang seharusnya menemani derap para kuda yang datang saat gadis itu memanggil mereka adalah juga angin yang menyapu pesisir Sikeli saat kuda-kuda itu dinaikkan paksa ke kapal-kapal para penangkap kuda liar.

Tinggallah senandung gadis itu saja yang merajai punggungan bukit miring berilalang ini. Rerumputan tak bergairah, seperti muram yang datang dan berdiam. Gadis itu berjongkok di atas bebatuan, pindah dari satu batu ke batu lainnya, menunggu dalam cemas yang terkadang menerbitkan air matanya.

“Datanglah ke hadapanku…,” bisiknya. Telapak tangannya mengusap pipinya yang sudah basah. Matanya tajam mengawasi tiap gerakan yang mungkin terlihat di antara ilalang yang menari, atau dari keremangan di bibir hutan.

“Tidak boleh begini. Jangan seperti ini,” gadis itu berbisik lagi.

**

Gadis bernama Loka itu sendirian. Ia generasi terakhir dari para perempuan pemanggil kuda. Ia mewarisi kemampuan langka sebagai pauno-dara dari moyangnya, para perempuan yang dapat membaca hasrat paling liar hewan-hewan cantik itu.

Dahulu, Suria, buyutnya berdiri di hadapan Mokole dan Kapita, menentang orang-orang berderajat tinggi itu. Suria tegas menolak menghadirkan kuda-kuda ke halaman istana Laica Ngkoa yang luas itu. Kematian para kuda telah mengubah keputusannya. Kecewa dan kemarahan menggulung hatinya dari kengerian yang menggumpal saat mengetahui nasib macam apa yang akan menimpa hewan-hewan cantik yang ia lindungi.

Mokole telah menyeret para kuda dalam perang suku yang ambisius. Demi hasrat kuasa dan perluasan wilayah, para mokole mengobarkan perang yang menyisakan kematian pada rakyatnya, tak terkecuali para kuda. Bisa dibayangkan, betapa remuk perasaan Suria saat memandang padang Sangampuri yang dipenuhi darah dan bangkai kuda yang bercampur dengan aroma kematian dari prajurit kemokolean. Perang dan kematian yang seharusnya bisa dihindari.

Suria telah memanggil para kuda, tetapi para Mokole justru mengirim mereka ke medan perang untuk mati sia-sia. Ya. Kematian yang sungguh sia-sia.

“Para kuda telah berbicara padaku. Maka, telah sampai masanya aku tak akan menuruti kalian lagi, wahai Mokole. Para kuda mempertanyakan kematian yang datang melalui tanganmu!” Suria meradang. Perempuan itu meraba pinggangnya. Hulu Taa memantulkan cahaya mentari dari sela jemarinya.

Perlawanan Suria telah mengakhiri persinggungan para kuda dengan manusia di tanah Moronene ini. Meski karenanya, Mokole Tontodama menyamakan posisi para pemanggil dan tegas menyatakan kepentingan mereka yang berseberangan.

Tapi, Suria hanya tersenyum di hadapan Tontodama.

“Itulah senyum terakhir yang aku lihat dari wajah buyut perempuanmu. Senyum nenekku itu tak pernah kulihat lagi saat terakhir ia tegak di sebuah batu besar di padang ilalang Saba Mpolulu.” Aniati mengenang neneknya dalam cerita yang disimak Loka dengan saksama.

“Semenjak itu, aku dan ibuku hanya bisa memandangi punggungnya dari kejauhan. Saat ia berlari bersama kuda-kuda, atau menunggangi salah satu dari hewan cantik itu. Beliau memegang teguh janjinya agar para kuda tidak lagi berurusan dengan ambisi manusia.”

Ketika itu Loka masih berusia 15 tahun. Kepalanya rebah di pangkuan ibunya, mendengarkan kisah-kisah tentang buyut perempuannya. Aniati memastikan, tidak ada perempuan pemanggil kuda lainnya yang sekuat Suria.

“Apa yang dilakukan para mokole setelah itu, Ibu?”

Aniati membelai rambut Loka dengan sayang. Bibirnya disaput senyum. Matanya berbinar bangga. “Mereka marah besar dan memerintahkan para Kapita untuk memburunya, setelah mendengar buyut perempuanmu itu berkata: “Inilah aku, wahai yang ditinggikan. Aku tidak akan memperdebakan perkara ini. Engkau yang akan menanggungnya. Biar Tuhan yang menuntun jalanku.”

Lalu, Aniati menoleh ke dinding. “Lihatlah itu,” tunjuknya pada dua benda yang tampaknya berpasangan. “Itu Taa dan Korobi milik buyut perempuanmu. Bukan main marahnya para Mokole, saat ia meloloskan Taa dari Korobi-nya dan melemparkannya ke tanah. Buyutmu telah menghina para raja dengan cara yang halus, sekaligus mempermalukan mereka. Tapi, ibuku memungutnya untuk ia simpan.”

“Bagaimana dengan buyut lelakiku?”

“Merekalah pelindung kami. Buyut lelakimu, kakekmu, dan ayahmu, adalah bagian keberadaan kami. Mereka pelindung para pemanggil, dan mereka melakukan tugasnya dengan baik.”

“Aku merindukan Ayah…”

Aniati beringsut , menegakkan tubuh Loka, membuat wajah putrinya menghadap ke wajahnya. “Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Ibu juga merindukannya.” Aniati tercekat keharuannya sendiri, “…kelak, akan datang lelaki yang akan melindungimu seperti para lelaki hebat dari rumah ini.”

Aniati menarik wajah putrinya itu, memberikan kecupan sayang yang lama di kening Loka.

**

Kuda-kuda telah memilihnya sebagai Pauno-dara berikutnya. Sama seperti saat para kuda memilih para pemanggil terdahulu, ibunya telah pula mengantarkannya ke padang ilalang ini, ke hadapan para kuda. Aniati tersenyum bangga saat si Kepala Berlian mengendus tubuh Loka, sebelum merendahkan dua kaki depannya, dan menundukkan kepala di hadapan putrinya itu. Usia Loka persis 23 tahun ketika itu.

Aniati menyatakan kelegaannya dan berterima kasih di hadapan para kuda. Seingat Loka, itu juga kesempatan terakhir ibunya mengunjungi padang ilalang Saba Mpolulu. Ibunya wafat tiga bulan berikutnya.

“Jangan menangis, Sayang. Tidak apa-apa. Ibu senang para kuda telah memilihmu. Mereka akan menjagamu sebagaimana takdirmu sebagai penjaga mereka. Kau hanya butuh kepercayaan mereka, Sayang.”

Loka masih ingat dengan jelas kata-kata terakhir ibunya setahun lalu itu. Kini, ia tegak sendiri di tepian padang ilalang ini, menanti para kuda datang memenuhi panggilannya.

“Holeeei!” Seruan Loka berkumandang seperti hendak menembus tiap sekat alam. Seharusnya kuda-kuda berderap datang saat ia memanggil. Tapi, hewan-hewan cantik itu tak muncul. Sepekan lalu, kawanan kuda berderap dari sisi hutan, memasuki padang dan membelah ilalang untuk datang menghampirinya.

Adakah masanya tiap pemanggil kuda akan kehilangan kekuatannya? Pakah para kuda juga akan menolak datang memenuhi seruan para pemanggil? Apakah ia akan sedih jika suatu saat hanya bisa memandangi bekas kaki para kuda yang tertinggal di padang ilalang Saba Mpolulu, di aliran sungai Laa Kambula, atau seolah mendengar ringkikan mereka di sela pepohonan hutan Sangia Wita?

“Mereka pasti datang.” Suara berat seorang lelaki datang dari belakang Loka. Gadis itu terkejut. Madara berdiri tak jauh darinya, bersandang tali pengikat tula nira enau. “Maaf, mengejutkanmu.”

Mata Loka menggeriap. Ia tidak tahu sejak kapan Madara berdiri di situ. Ia lelaki yang tinggal di selatan sungai Laa Kambula. Meramu pohon Enau adalah pekerjaannya sehari-hari.

“Kemarin kulihat si Kepala Berlian memimpin kawanan di pinggiran hutan di utara padang ini. Saat matahari beranjak naik, mereka akan berlarian melintasi hutan ke arah sana.” Madara menunjuk ujung padang yang berbatasan langsung dengan hutan di bagian timur. Lalu lelaki itu menurunkan tabung tula dari bahunya, meletakkannya hati-hati agar isinya tak tumpah. “Kau jarang ke sini lagi,” sambungnya.

Loka berjongkok. Kagetnya sudah hilang. Kini wajahnya tampak dipenuhi pertanyaan akan kehadiran Madara. Kepalanya dimiringkan. “Sejak kapan kau mulai berkeliaran di dekat sini?” Tanya Loka.

“Kapan pun aku mau,” jawab Madara, tersenyum. “Wilayah peramuanku di sebrang padang ini. Aku melintasi sisinya jika hendak pulang ke desa. Aku tak harus selalu melintas di sisi air terjun Wataroda, bukan?”

“Kuharap kau tidak mengganggu mereka.”

Madara menggeleng cepat. “Oh, tentu tidak. Jangan mengira aku akan melakukannya. Aku hanya mengawasi mereka.”

“Mengawasi?”

Lelaki itu mengangguk. “Apa sudah kau hitung jumlah mereka terakhir kali?”

Loka terpana. “Apa?”

“Seharusnya kau lebih sering bicara pada si Kepala Berlian.”

“Apa yang…?”

Madara menoleh cepat. “Kau tidak memperhatikan rupanya. Kuda berkurang dua, bahkan saat kau mengunjungi mereka sepekan lalu.”

Loka sontak berdiri, membalikkan tubuhnya dengan cepat. Dipandanginya batas padang nun jauh di sana yang tampak bergerak-gerak akibat panas yang menguapkan tanah. Kedua tangannya membentuk corong. “Holeeeii!” serunya, tiga kali.

Tidak terjadi apa pun. Tidak ada derap kaki kuda mendekat.

“Ke mana mereka? Seharusnya mereka…,” gumamnya. Mata Loka memejam.

Selarik bayangan wajah ibunya melintasi kenangannya sekali lagi. Perempuan itu berdiri di atas batu seperti dirinya sekarang ini, mengajarinya cara memanggil kuda. Bagaimana ia berkosentrasi dan menyakini sesuatu, sebelum ia berseru memanggil. Mata ibunya berbinar-binar saat bercerita tentang neneknya yang tangkas menggulung kain dan berlari di antara kawanan kuda seraya tertawa-tawa.

“Lihat itu!” Seru Madara. Telunjuknya mengarah ke bagian remang di tepian hutan, pada sesuatu yang bergerak senyap dan mendengus. Ada sepasang mata hitam berkilat yang mengawasi mereka berdua dari arah itu.

“Si Kepala Berlian,” desis Loka. Wajahnya berseri-seri. Bayangan hitam itu bergerak ragu-ragu. Kuda itu cemas dan gugup.

“Ayo, ke sini! Tak apa-apa!” Teriak Madara.

“Diam!” Tangan Loka terangkat, membuat Madara menahan teriakannya. “Turun! Turunlah perlahan!” Pinta Loka.

Lelaki itu menurut. Madara mundur perlahan, membalikkan tubuh, lalu meluncur turun dari batu. Bergerak pelan, seolah tak ingin terlihat, lalu Madara jongkok di balik batu lainnya. Matanya tajam menatap Loka yang tegak di atas sana.

“Holeeei!” Loka berseru. Suaranya melengking, memantul di sisi bukit dan merambah padang ilalang miring itu. Kuda mana pun seharusnya datang saat ia memanggil. Mereka mengenali suara setiap pemanggil, sebab merekalah yang telah memilihnya. Kemampuan yang hanya dimiliki kaum perempuan di tempat ini dan hanya diwariskan kepada perempuan berikutnya.

Sosok gugup di remang bayangan pepohonan itu bangkit, lalu perlahan berjalan mendekati tempat Loka berdiri. “Jangan bergerak, Madara. Ia sedang tak memercayai siapa pun saat ini. Bahkan aku!” Nada sedih terdengar di ujung perintahnya.

Tangan Loka terangkat, meminta kuda itu berjalan lurus ke arahnya. “Jangan takut. Aku memanggilmu untuk melihat keadaanmu. Mendekatlah.”

Cukup lama kuda bercorak berlian di antara kedua matanya itu memperhatikan Loka. Kepalanya mendongak, seperti membaui sesuatu dari udara. Lalu ia mendekati Loka dan menempelkan kepalanya ke kulit lengan gadis itu.

“Ada apa denganmu? Mana anggota kawanan lainnya?” Tanya Loka. Kaki depan kuda itu menyepak-nyepak tanah. Lalu meringkik pelan. Kepala Loka terangkat, saat matanya menangkap sembilan sosok kuda lagi berlari ke arah si Kepala Berlian. Gadis itu menunduk sedih. Ia mencium kening Kepala Berlian, lalu berbisik, “maafkan aku.”

Seperti kata Madara, kawanan Kepala Berlian berkurang dua ekor. Sepekan saja ia tidak datang menjenguk mereka di padang ilalang ini, cukup memberi kesempatan para penangkap kuda liar menyelesaikan urusan mereka. (*)

Molenvliet, 2013

Twitter: @IlhamQM

 

Catatan:

* Pauno-dara: pemanggil kuda/pelindung kuda.

* Mokole: raja Moronene.

* Kapita: panglima, di struktur peristiadatan pemerintahan Kerajaan Moronene.

* Laica Ngkoa: rumah adat/istana Kerajaan Moronene.

* Taa: parang pendek. Senjata tradisional Moronene. Bentuk parang yang lebih panjang disebut Taa’Owu.

* Korobi: sarung senjata Taa dan Taa’owu.

* Moronene: etnis tertua di Sulawesi Tenggara. Mendiami daratan besar (Rumbia, Poleang, Huka’Ea, La’Ea, Lanowulu, dan Langgosipi) di selatan Sulawasi Tenggara dan di empat pulau (Kabaena, Talaga Besar, Talaga Kecil, dan Koko’E).

* Tula: bambu betung.

* Saba Mpolulo, Sikeli, Sangampuri, Laa Kambula, Wataroda, Sangia Wita: adalah nama-nama tempat di pulau Kabaena (Bombana, Sulawesi Tenggara).