Tag Archives: madat

[Cerpen] Empat Plot di Tulouse | Media Indonesia, Minggu 21 Mei 2017

Oleh: Ilham Q. Moehiddin

Plot Pertama

SAAT bunga-bunga bermekaran di himpunan perdu, kita sedang terjangkit rindu. Itu penanda hubungan kita yang ragu. Tahun kedua di Tulouse dan kau tak betah. Itu aneh. Kau meneleponku pada subuh di hari pertama minggu terakhir Maret. Ah, aku nyaris lupa apa yang telah kita bicarakan dan ingatan yang kita labuh pada subuh itu—saat seharusnya kita lelap seperti orang-orang yang lelah memerangi waktu.

Tidurku terganggu oleh telepon darimu. Kau terisak-isak di seberang sana, menyansak waktuku yang sesak, untuk sekadar mendengarmu bicara pendek-pendek tentang gemuruh yang mendesak dadamu. Kau bicara tentang sesuatu yang seharusnya bukan urusanku. Kau iris waktu tidurku hanya untuk mendengar potongan hidupmu yang tragis.

—Seharusnya kau tembak saja aku.

Masih kusimpan pistol lada yang dulu sengaja kubeli untuk membunuh lelaki tua itu. Lelaki tua itu mengajakku bertemu dan bicara empat mata. Ini hanya antar dua lelaki saja—katanya. Omong kosong. Nyatanya, saat kami bicara itu, ada dua pengawalnya yang tegak di sisinya. “Jangan ganggu Gorny lagi,” lelaki tua itu memberiku ultimatum.

Percayalah, saat itu ingin sekali kuledakkan pistol lada tepat ke wajahnya. Biar mampus ia, biar kecemasan dan rencana-rencana di kepalanya berhamburan ke lantai kafe. Mungkin setelah itu, aku pun akan terkapar mati ditikam dua pengawalnya—atau sebaliknya: aku habisi mereka bertiga.

Aku cemas kau akan bosan menungguku keluar dari tempat terkutuk itu. Tentu saja aku takut dipenjara. Tapi ketakutanku itu tidak lebih besar dari kecemasanku pada para napi lelaki yang kesepian. Narkotika dan kesepian, kudengar, telah mengubah penjara seperti pasar malam dan rumah madat.

“Sebaiknya kita bertemu,” pintamu.

 

Plot Kedua

HARI ini aku tak perlu kembali ke kantor setelah menepati janji bertemu Gorny di kafe tenda dekat anjungan pelabuhan. Aku suka tempat yang dipilih Gorny. Cukup nyaman. Burung-burung Camar di sini masih segan pada manusia—tak seperti Camar di pesisir Laut Hitam yang suka mencuri makanan dari piring pengunjung. Entah kenapa burung-burung itu lebih menyukai kentang daripada ikan. Sesuatu dalam air laut mungkin telah mengubah mereka menjadi mutan.

“Bawa kami pergi—” kau menyentuh lenganku. Kau masih perempuan yang selalu mengejutkanku dengan permintaan-permintaan aneh dan mendadak.

Apa yang kau cemaskan? Mataku menatap bibirmu yang menyembunyikan kepahitan.

“—suamiku gila,” sambungmu lagi.

Amboi. Inilah pengakuan yang paling jujur yang meluncur dari bibirmu tentang lelaki tua itu. Sudah kuduga, lelaki tua yang menikahimu itu memang gila.

“Ia memukuliku—” ujarmu cepat, “—juga mengancam akan membunuhku.”

Dasar pasangan gila. Kau pun pernah nyaris membunuhku dengan keputus-asaan yang kau ciptakan. Lalu kini kau akan terbunuh oleh keputus-asaan suamimu.

“Anakmu?”

Kau mengangguk. “Ya—Seine baik-baik saja.”

Syukurlah. Kepalaku berpaling ke arah laut. Kilau airnya memantulkan lumen matari sore yang magis. Mataku tertuju pada pulau kecil di kejauhan sana. Pulau dengan enam cottage berdesain Palma. Seingatku, di pulau itu ada sepotong tulang yang diakui para pengurus cottage sebagai tulang rusuk Mermaid. Air muka mereka begitu meyakinkan saat menceritakannya.

Wajahmu serius sekali. Aku mendesah. “Baiklah—”

Kau memajukan kepalamu. “Bawa kami pergi. Ya. Bawa kami ke tempat paling aman.”

“Kau mendengarku dengan jelas, Gorny.” Aku menggerutu. Betapa menyedihkan situasi ini. Aku pernah mengharapkanmu menjadi istriku, tapi kau memilih lelaki tua pemilik perusahaan ikan beku itu. Kini kau hendak memasuki hidupku lagi dan bertingkah seolah-olah kau tak pernah mengecewakanku. “Kau punya uang?” Tanyaku.

“Tabunganku cukup.”

“Paspor?”

“Ada.” Wajahmu memelas.

Aku tatap matamu. “Baiklah. Kau tahu Baukje?”

Kau mengangguk.

“Baukje tinggal di Belanda. Ia akan senang menerima kalian. Ia menyukai anak kecil.”

Aku yakin orang suruhan suamimu tak akan menemukanmu di sana. Walau aku tak tampak seperti orang yang punya kenalan banyak begundal di jalan Dusk Paris, atau di desa kecil di tebing Amalfi Italia, tapi aku yakin rumah Baukje adalah tempat teraman bagimu.

 

Plot Ketiga

SUAMIMU menemuiku untuk kedua kalinya. Di pertemuan pertama saja aku sempat berniat membunuhnya. Tapi saat ini, suamimu yang paling mungkin melakukan itu kepadaku.

Lelaki tua kaya yang marah karena terbakar cemburu dan dua pengawal bertubuh besar yang tampak mampu menganiaya siapapun, adalah sebuah kombinasi berbahaya. Mereka memergokiku di parkiran kantor dan menggelandangku ke gudang ini.

“Kau pasti tahu di mana Gorny,” tuduh suamimu.

Aku menggeleng. Suamimu tertawa sinis. Dari saku jas panjangnya, ia tarik tabung ganda berbahan kulit berisi dua batang cerutu. Dicabutnya sebatang, lalu mengembalikan wadahnya ke balik jas. Dikeluarkannya juga cincin pemotong cerutu bersama pemantik kayu. “Maaf—aku tak bisa menawarimu. Cerutu bermutu tinggi sukar dicari saat ini.”

Aku tersenyum mengejek.

“Kau tahu—” ujarnya seraya memantik api ke ujung cerutunya, “—api dari pemantik kayu akan menjaga citarasa cerutu. Kau harus mencobanya sewaktu-waktu.”

Huh, aku tahu. Itu pernah aku baca di lembar sisipan koran minggu. “Kau mau apa?”

Suamimu mengangguk. “Jawab saja pertanyaanku tadi.”

“Sejak kau menikahinya, seharusnya kau lebih tahu soal Gorny.”

Suamimu memukul meja. “Jangan coba mengalihkan masalah. Aku bisa membunuhmu!” Desisnya ke wajahku. Aku menjauhkan kepalaku, tapi gagal karena pengawalnya menekan belakang leherku.

Aku tersenyum kecut. “Lalu apa yang kau tunggu?”

“Baiklah—” Suamimu menggeleng seraya menatapku dengan licik, “—kita akan melakukan ini seharian penuh. Percayalah.”

Dua pengawalnya lelalu menekan telapak tangan kiriku ke atas meja. Suamimu yang gila itu mengeluarkan benda dari saku jasnya dan dengan benda itu ia tetak punggung telapak tanganku. Rasa sakitnya menjalar ke telingaku, sebelum menuju tulang belakang. Sakitnya membuat setiap persendianku gemetar.

Jika kubilang aku tak menangis saat menerima pukulan benda itu, maka aku berbohong. Sungguh, popor pistol suamimu membuat dua tulang jemariku patah. Darahku menetesi lantai.

“Baiklah! Aku akan mencari Gorny,” aku terbata-bata menahan sakit.

Suamimu tertawa sinis lagi. “Apa aku harus memercayaimu?”

Aku menggeleng. “Tidak perlu—tapi kau bisa mengawasiku,” kataku sambil melirik dua pengawalnya. “Buatlah dua orang dungu ini lebih berguna. Uangmu hanya membuat tubuh mereka membesar, tapi tidak dengan otaknya.”

Suamimu tertawa saat seorang pengawalnya segera menepak belakang kepalaku karena jengkel. Ia kemudian menunjuk lelaki yang menepak kepalaku tadi. “Dia akan senang menancapkan sesuatu ke lehermu jika kau mengelabuiku.”

Lelaki besar itu menyeringai dan mengangguk.

 

Plot Keempat

“KALIAN siap?” Tanyaku.

“Ya—” kau mengangguk, “—jam berapa kita ke bandara? Jika terlalu lama, kami bisa ketinggalan penerbangan.”

Jika aku tak mencintaimu, tak mungkin aku mengambil resiko sebesar ini. Tapi kau merasa perlu mendesakku untuk rencana yang sedang aku jalankan buatmu. Tak ada orang yang begitu mencintaimu seperti aku.

Pintu terpentang, saat seorang lelaki bertubuh besar masuk dan merenggut tanganmu. Kau terkejut dan meraung karena kecewa. Kau menghujaniku dengan tinjumu. Pengawal suamimu itu menarik dan mendorongmu ke dalam mobil. Anakmu menangis ketakutan sambil berpeluk pada pengasuhnya.

“Kau—menipuku!” Kau meneriaki aku dalam perjalanan ke tempat di mana suamimu telah menunggu. Aku tersenyum sinis. “Menipumu? Kau tak tahu sakitnya saat kau memutuskan menikahi majikan si dungu ini,” timpalku. Si pengawal di sisimu mendengus jengkel.

Kau menangis. “Kau tidak memahamiku.”

“Aku memang belum selesai melakukannya,” kataku.

“Aku mencemaskan keselamatan kalian.”

“Omong kosong!” Hardikku.

Lalu kau membanting punggungmu ke jok mobil. Sepertinya, hatimu remuk.

Suamimu tersenyum melihat kau keluar dari sedan hitam yang kita tumpangi. Aku menyusul turun. “Orang sepertimu banyak sekali di dunia ini,” kata lelaki tua itu.

Aku menjawabnya dengan meludah ke lantai.

Suamimu mengulurkan tangan saat kau berjalan ketakutan menghampirinya. Tatapanmu tiba-tiba kosong. Sepertinya, mereka akan segera membawamu pergi.

Aku menyela. “Jangan lupa singgah menjemput putra kalian di rumahku.”

“Tak perlu—” Suamimu menjawab cepat. Aku kaget.

“Itu anakmu, bodoh!—” wajah licik suamimu tampak lagi, “—aku hanya menginginkan milikku. Hal lainnya bukan urusanku.”

“Gorny—?” Aku menatapmu, meminta penjelasan. Kau memejamkan mata.

Aku terguncang. Situasi ini segera menjadi jelas saat kau menganggukkan kepala ke arahku. Aku teringat ucapanmu di mobil tadi—aku mencemaskan keselamatan kalian.

Kalian! Kepalaku tiba-tiba berat, seperti ada setan yang sedang mendudukinya dan sibuk membujuk melakukan sesuatu yang kuanggap perlu. Itu nasehat jahat di waktu yang tepat. Saat aku usai memutar tubuhku, seorang pengawal di belakangku terjengkang. Pistol lada melubangi lehernya. Lelaki dungu lain yang berdiri di depan mobil, sempat terlanga, tapi segera rubuh ke lantai saat peluru kedua dari pistol ladaku menembus dadanya. Masih ada dua butir peluru lagi.

Pias wajah suamimu. Ia salah mengira bahwa aku terlalu lemah untuk membuatnya tak waspada. Ia lupa membawa pistolnya. Aku mintamu menyingkir.

“Aku tak akan memohon padamu,” ujar suamimu.

“Jangan—” aku menggeleng. Aku tarik kerah jas panjang lelaki tua itu dan kuselipkan tanganku ke sakunya. Kutarik keluar tabung cerutunya, “—bagus juga sesekali mencoba cerutu bermutu tinggi.”

Kuminta lelaki tua itu mengeluarkan cincin pemotong dan pemantik api. Pistolku terarah padanya. Ia menurut. Ia memotong ujung cerutu dan memantikkan api untukku sekaligus. Asap cerutu segera membumbung. Aku tersenyum. “Artikel di koran minggu selalu benar.”

Suamimu sinis menatapku. “Aku belum selesai denganmu—”

Ledakan pistol ladaku meredam ocehannya, “—tapi aku sudah selesai!”

Lelaki tua itu memegang perutnya. “Kau—kau tak bisa…”

Pistol ladaku meledak sekali lagi. Suamimu tersentak kemudian diam seketika. Peluruku habis, namun ada liang baru di kepalanya. (*)

Molenvliet, Maret 2017