Tag Archives: detasemen II

Sepuluh Surat Rindu Umi Widarti Buat Bapak

Mba Umi Widarti yang aku hormati…

Aku sedang men-defrag notebook saat aku jumpai file catatan surat suratmu untuk Bapak Boediono, ayahandamu. Aku ingat surat surat ini engkau tulis pada Ramadhan 2010 lalu pada status terpisah di akun facebookmu.

Aku sangat terharu membacanya ketika itu dan memutuskan meng-copas-nya lalu menyimpannya baik baik di dokumenku. Lalu, aku membacanya kembali semalam, dan memutuskan untuk membuatnya menjadi tulisan utuh.

Aku tak mengeditnya, mbak. Tentu tidak, sebab ini karyamu. Aku hanya memperbaikinya; mengurangi huruf yang berlebih; menambahi huruf yang kurang; membetulkan spasi yang berlebih. Selebihnya adalah karya (surat surat rindu utuh) mba Umi pada ayahanda.

Salam

[]

Sepuluh Surat Rindu Umi Widarti Buat Bapak

(Buat Ayahanda, Bapak Boediono “Loentjoeng“) 

Oleh Umi Widarti

I.

Bapak…hari Kamis, 5 Agustus lalu aku berangkat ke Solo. Kali ini keberangkatanku ke kota gerilya semasa Bapak muda dulu untuk mewakili kehadiran Bapak di Detasemen II- Brigade XVII Tentara Pelajar Solo. Itu loh, Pak…Monumen Pak’de Mad—Komandan Bapak—akhirnya diresmikan di daerah Banjarsari. Kawan-kawan Bapak yang masih hidup tinggallah sedikit. Aku berangkat bersama sebagian putra putri kawan Bapak. Panglima TNI-RI yang meresmikan loh, Pak. Dan kawan-kawan Bapak terharu karena cita-cita mereka terwujud pada hari itu, Sabtu 7 Agustus 2010.

II.

Bapak…setelah usai Panglima TNI meresmikan Monumen Pak’de Mad, para wartawan mengelilingi Panglima TNI untuk mengabadikan momen itu. Aku duduk hanya dua meter dari penandatanganan prasasti. Tiba-tiba pandanganku terarah pada seorang tua berpakaian seragam coklat, beremblem DetSie II, dan bertopi baret biru. Seragamnya sama persis dengan yang dimiliki Bapak. Bapak renta itu nampak semangat mendekati kerumunan wartawan yang tak memberikan kesempatan beliau untuk memotret momen itu dengan camera saku yang nampak digiwing-giwing sejak tadi. Aku sangat antusias memperhatikan bapak renta itu. Aku zoom camera BB ini yang seadanya…kearahnya. Mencuri shoot tubuhnya dari samping. Dekat dengan aku duduk. Aku ikuti terus kemana bapak itu pergi. Perasaanku jadi rindu padamu, Bapak. Selama acara berlangsung, kangenku semakin bertambah pada Bapak. Kangen ketika memperhatikan hidung bapak itu yang mirip hidungmu, Bapak. Dan gayanya yang semangat.

III.

Iya, Pak…beliau dengan tubuhnya yang sudah agak membongkok itu berjalan kesana kemari dengan semangat. Aku mengikutinya terus sambil melempar senyum ke kawan-kawan Bapak lainnya. Juga ke para ibu yang menjadi kawan ibu kita semasa hidupnya mendampingi Bapak dulu. Aku hafal dengan wajah-wajah kawan Bapak yang tertinggal…sedikit di sini. Oh ya, Pak…aku meminta bapak itu dan dua bapak-bapak lain sebagai model di bawah Monumen Pak ‘de Mad. Aku menjajarkan para sepuh itu untuk menjadi kenanganku. Kan Bapak yang handsome sudah tak ada. Jadi mereka sajalah yang kujadikan hiasan di potret itu. Wah…mereka semangat dan senyum sumringah menyembul diantara keriput wajah mereka. Selesai memotret, aku—untuk menjaga unggah-ungguhso pasti memperkenalkan diri dong. Sambil memegang bahu bapak tua itu, yang hidungnya mirip Bapak, aku bilang, “Apa kabar Bapak…saya putri dari Bapak Boediono.” Aku sapa beliau sambil senyum.

IV.

MasyaAllah, Bapak…bapak itu menampakkan keterkejutannya mendengar nama Boediono disebut olehku. Matanya yang berhias kacamata tebal itu, nampak terbelalak dan tangannya langsung meraih pundakku—hampir merangkul. Beliau bilang, “Nak putri dari Boediono “Loentjoeng” sing dhuwursing tinggal di Leuser?” Sambil geleng-geleng kepala. Aku senang masih dikenali—paling tidak beliau masih ingat denganmu, Bapak. Beliau bertanya kepadaku bagaimana kabar Bapak. Sambil tetap senyum aku bilang kalau Bapak sudah berpulang lima tahun silam. Bapak itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berkata, “Kok saya tak dapat kabar apapun?” Aku sedih juga jadinya. Namanya juga kawan seperjuangan. Jadi kalau ada yang sesuatu hal yang menimpa kawan seiring…ekspresi sedih mereka pasti keluar. Bapak…tak lama, sambil tetap meletakkan tanggan beliau ke pundakku, dia bilang, “Nak, saya Soeprapto “Pego”, pimpinan regu Bapakmu ketika Peristiwa Serangan 4 Hari”. Aku terpana mendengarnya, karena ingat cerita Bapak…dimana lima orang kawan Bapak gugur pada serangan itu.

V.

Bapak…aku masih ingat, ketika Bapak pernah bercerita tentang pimpinan regu Bapak bernama “Pego”. Aku dipeluk erat beliau, Pak Pego itu. Aku minta berfoto bersama beliau—saling saling melingkarkan tangan, lalu berfoto pula bersama empat kawan Bapak lainnya. Kami saling bertukar kartu nama. Dari Banjarsari…semua rombongan ke makam Tjurug—Taman Makam Pahlawan, dan lanjut ke Wonosido, tempat Pak ‘de Mad mendeklarasikan Serangan Umum di awal Agustus itu. Pak Pego ikut juga dalam bus yang aku tumpangi—tidak bergabung dengan kawan-kawannya di bus satunya. Di dalam bus, Pak Pego menjelaskan…kalau jarak 15 kilometer dari pusat kota Surakarta adalah wilayah gerilya Tentara Pelajar Solo. Dengan semangat beliau bercerita. Aku memperlihatkan pada beliau fotomu, Bapak…yang selalu aku simpan di handphoneku. “Oh, ya…itulah Bapakmu,” katanya. Aku perlihatkan juga foto makam Bapak di Kalibata, waktu aku menghadiri pemakaman Om Tri Mul. Pak Pego terdiam dan bertanya pada dirinya sendiri, “Kapan saya menyusul kalian…” Aku tertegun… Mengharu biru aku menemaninya duduk berdua di dalam bus. Mas-mas dan mbak-mbak lainnya mungkin bingung, tapi tak bertanya. Tak mengapa.

VI.

Bagiku, Pak…ini suatu momen indah dan tak terduga. Seperti diatur begitu saja. Diawali dengan memotret sembunyi-sembunyi dari belakang ke arah bapak itu. Usilku ini mirip Bapak, kan?

Sampai di Makam Tjurug…usai penyerahan simbol tabur bunga oleh Kapten Soehendro, salah seorang kawan Bapak juga—yang kini aktif menulis di majalah SMT Manahan—kami ikut menabur bunga. Aku mendampingi Pak Pego yang mengajakku ke lokasi lima makam anak buahnya yang gugur pada serangan itu. Aku tiba-tiba teringat ceritamu, Bapak; ketika mencuci kain penutup kepala kawan Bapak yang gugur. Di kain itu, Bapak memisahkan darah dan serpihan otak dari kepala kawan Bapak yang hancur. Lalu, menyerahkan ikat itu kepada keluarganya setelah serangan selesai.

Iya, Bapak…aku mengikuti Pak Pego yang mencari-cari kelima makam anak buahnya itu. Ternyata Pak Pego lupa letaknya. “Ini kali kedua di tahun kedua saya lupa, mencari makam mereka, nak”, keluh Pak Pego. Terus beliau bilang, “Maaf ya, nak…saya tak dapat menemukan mereka kembali. Tapi saya masih menyimpan foto makam-makam mereka ketika kami kesini tahun 1987. Bapakmu juga kesini, bersama Om Tri Mul, Purwoto  dan Pratik”.

VII.

Bapak…Aku bilang ke Pak Pego, kalau Om Tri Mul tiga tahun lalu pernah mengundangku makan siang dan sama-sama mengunjungi makam Om Pratik, Purwoto dan makammu, Bapak. Dan ternyata, hari ini, aku masih bisa bertemu Pak Pego, pimpinan regu kalian. Sampai di Wonosido aku terkenang dengan lokasi yang pernah kau ceritakan, Bapak. Aku buka notesku dan menuliskan garis-garis besarnya. Aku agak malu ketika menulis, sebab tiba-tiba ketua panitia yang juga keponakan Pak ‘de Mad memergokiku. “Menulis diary, Umi…hahaha.” Selanya.

Lapar dan excited menderaku, jadi, ya…aku nulis saja di tengah-tengah pidato bapak Wakil Bupati. Pak Pego sudah diarahkan untuk bergabung dengan rekan-rekannya. Aku mojok di pilar paling luar. Menulis dan memperhatikan suasana. Kebelet pipis lagi, repot deh.

Selesai acara, kami kembali ke bus masing-masing untuk kembali ke monumen. Karena Taruna Patria—organisasi Putra Putri Tentara Pelajar—hendak mendokumentasikan dan berphoto bersama di monumen itu. Jadi Pak Pego tak duduk dalam bus bersamaku lagi. Malam itu, beliau mengira aku masih akan kembali ke monumen untuk menyaksikan perhelatan wayang kulit.

VIII.

Aku salah, Bapak… Aku tak hadir di acara wayang itu. Padahal Pak Pego hendak memperkenalkan aku kepada seorang anaknya serta satu cucunya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, karena aku harus bersama Taruna Patria pada acara terpisah. Tapi ketika rombongan disempatkan tilik ke perhelatan pewayangan…aku pun minta ijin ikut turun sebentar. Seharusnya yang bisa turun ke lokasi itu hanyalah ketua Tentara Pelajar dan panitia. Aku merasa bersalah terhadap Pak Pego. Ternyata beliau sudah tak ada. Yang aku temui hanya beberapa pasang Tentara Pelajar dan ibu-ibu Putri Ganesha. Aku clingak clinguk mencari beliau…tak ada. Aku lalu kembali ke bus dan melanjutkan acara Taruna Patria. Setelah usai kami semua kembali ke hotel.

Esoknya, jam 8 pagi dikamarku, aku mendapat morning-call, “Room 204, Ibu Umi? Ada tamu bernama Pak Pego”. Duuh, Bapak…Aku kan baru saja mandi dan belum lagi berpakaian. Untung sudah packing sih. Aku buru-buru dandan…sambil teringat padamu, Bapak…kalau Bapak kan tidak suka menunggu lama bila bertamu dengan alasan masih dandan atau apalah. Nah, hampir saja aku memperlakukan hal serupa itu terhadap Pak Pego. Aku keluar kamar langsung berlarian ke tangga…grusak grusuk.

IX.

Bapak…Aku tentu meminta maaf ke Pak Pego yang menunggu di lobby; karena tak sempat hadir semalam. Pak Pego datang ditunggui becak yang beliau tumpangi dari rumahnya. Beliau rapih sekali mengenakan batik Solo lengan panjang. Aku diberikan foto makam kawan kawan Bapak di Makam Tjurug, yang kemarin kami cari tapi tidak ketemu. MasyaAllah, Bapak…aku terharu. Pak Pego khusus datang agar dirinya tidak dikira mengada-ada…

Waduh…Bapak, sampai sebegitu khawatirnya ya, Pak Pego itu? Beliau takut aku tak percaya pada penuturan beliau. Aku tegaskan pada beliau…bahwa aku sangat percaya dan sangat merasa istimewa bisa bertemu beliau dan menyerahkan foto itu agar bisa aku repro dan dikirim kembali ke Solo. Beliau memintaku mampir ke Solo bila lebaran pulang ke Jogja. Oh, Bapak…aku begitu terenyuh dan perih banget rasanya waktu beliau minta di doakan semoga panjang umur menanti foto-foto acara kemarin yang aku janjikan, plus foto asli makam anak buahnya aku kirimkan kembali ke Solo. Pak Pego pamit pulang karena melihat kawan-kawan rombonganku sudah packing barang ke dalam bus. Pak Pego memelukku seperti hendak melepas anaknya sendiri. Aku menghantar beliau ke becak yang menunggunya hampir sejam.

X.

Gak apa ya, Bapak…aku baru bisa mengeposkannya lewat jasa paket Tiki tanggal 18 Agustus. Oh iya, Bapak…begitu aku tiba di rumah tanggal 9 Agustus, Pak Pego sudah menelponku menanyakan perihal keselamatan perjalananku kembali ke Jakarta.

Sempat loh, waktu di lobby ketika beliau menunjukkan foto Bapak tahun 1987—beliau mengenangmu, Bapak. Kata beliau tentang Bapak padaku, “Oh ya, bapakmu itu tidak terlihat kaya harta, tapi saya tahu bapakmu itu sangat kaya hati dan prinsip”.

Hihihi…aku mikir kalau Bapak dulu itu ketika masih di instansi jika mau diajak berkongsi korupsi berjamaah, tentunya kita sudah kaya harta ya, Pak? Untung banget…aku memiliki Bapak seorang idealis dan berprinsip. Oh, aku begitu bangga padamu, Bapak.

So…aku tunaikan janjiku pada pak Pego tentang foto itu, dan sekarang aku harus toto dahar buat sahur dulu, ya…Bapak.

Bapak, aku sudah bangun buat sahur dan aku sedikit lagi menulis surat buatmu, Bapak.

Nanti pagi, jam 8, ada Upacara Kemerdekaan di Tugu Proklamator. Aku akan datang lagi menjengukmu, Bapak. Karena aku cinta Bapak. Bukan karena hendak gagah-gagahan. Tapi mau seperti Bapak. Mau menjadi anak perempuan Bapak yang cinta pula pada Indonesia-ku.

Bapak…sampai jumpa besok pagi.

***

Surat untuk Bapak, 16-17 Agustus 2010 

Bapak Boediono 'Loentjoeng' dan Umi Widarti Kecil (foto: dok. Umi Widarti)